Hukum Memegang Anjing



Sebagai madzhab paling hati-hati, Madzhab Syafi’i, menghukumi seluruh anggota tubuh anjing sebagai najis, kendatipun dalam keadaan kering

Hidayatullah.com | TIDAK ada khilaf (perbedaan pendapat) tentang memegang anjing (bulu atau kulitnya) sementara anjing dan pawangnya dalam keadaan kering. Para ulama sepakat bahwa menyentuh seekor anjing pada saat itu tidak mengharuskan tangan yang memegangnya harus disamak.

Perselisihannya adalah ketika salah satunya basah; yaitu baik pemilik maupun anjingnya basah, harus disamak untuk menghilangkan najis; dimana basuhan pertama dengan tanah, diikuti dengan 6 kali basuhan dengan air mutlak.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi ﷺ bersabda :

إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبع مرّات إحداها بالتراب

“Jika anjing menjilat bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah dia membasuhnya 7 kali, dan salah satu basuhan dengan tanah.” (HR: Bukhari dan Muslim).

Pandangan Mazhab Hanafi

Secara ringkasnya, ulama Mazhab Hanafi melihat bahwa anjing itu bukanlah najis ‘ain (yang nampak), hal ini berbeda dengan babi, yang mulut, air liur dan tahinya yang dianggap najis.  Cara mensucikan najis ‘Ain dengan membasuh tempat yang terkena najis, sampar hilangnya rasa, bau dan warna.

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS: Al-An’am : 145).
dPandangan Mazhab Maliki

Bagi Mazhab Maliki, kesemua binatang itu asalnya suci. Status najisnya anjing hanyalah kepada air liur saja. Jika terkena air liur anjing, maka hendaklah dibasuh tempat yang terkena liurnya saja.
لَيْسَ الْكَلْبُ بِنَجِسِ الْعَيْنِ) بَلْ نَجَاسَتُهُ بِنَجَاسَةِ لَحْمِهِ وَدَمِهِ، وَلَا يَظْهَرُ حُكْمُهَا وَهُوَ حَيٌّ مَا دَامَتْ فِي مَعْدِنِهَا كَنَجَاسَةِ بَاطِنِ الْمُصَلِّي فَهُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ الْحَيَوَانَاتِ (قَوْلُهُ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى) وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالْأَقْرَبُ إلَى الصَّوَابِ

Anjing bukan termasuk najis ‘Ain, kenajisannya karena daging dan darahnya yang belum menjadi najis ketika masih hidup selama ada dalam tubuhnya. Kenajisannya sebagaimana najis yang ada dalam perut orang yang shalat. Hukum anjing sebagai hukum hewan lainnya. [Dan itulah fatwanya], itulah yang shahih dan lebih dekat pada kebenaran.(Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar).

Pandangan Mazhab Syafi’i dan Hanbali

Sebagai madzhab yang paling hati-hati di antara madzahibul arba’ah (empat mazhab), Madzhab Syafi’i, menghukumi seluruh anggota tubuh anjing sebagai najis, kendatipun dalam keadaan kering. Menurut Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, anjing dan babi, air bekas jilatan keduanya, keringat keduanya, dan hewan turunan dari salah satunya sebagai najis berat.

Benda yang terkena itu semua, menurut pandangan kedua mazhab ini, harus dibasuh sebanyak tujuh kali di mana salah satunya dicampur dengan debu yang suci.*/Sumber: Dr. Maza, Dr Wahbah al-Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa adilatuhu dan Dr Yusuf al-Qaradhawi. Fiqh al-Thahaarah

Rep: Admin Hidcom

Powered by Blogger.
close