Menjadi Suami dan Ayah yang Baik


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

TIDAK ADA AYAH yang baik kecuali dia haruslah suami yang baik. Sebab, bagaimana mungkin ia akan mendidik anaknya agar memiliki adab yang kokoh dan akhlak mulia jika di saat yang sama ia justru mencontohkan kepada anaknya bagaimana berbuat kasar dan zalim kepada ibunya. Bukankah anak wajib menegakkan birrul walidain, yang pertama kali justru kepada ibu, kemudian ibu dan kemudian ibu pula??! ⁣
“Suami saya sebenarnya baik, Ustadz. Dia sangat sayang sama anak-anak. Royal sama mereka. Kalau sudah sama anak-anak, minta apa saja dituruti,” ini pengantar umum yang sering terjadi ketika seorang perempuan mengeluhkan suaminya “yang baik”. ⁣
“Sebagai ayah, suami saya sosok yang sempurna. Dia benar-benar ayah yang baik,” katanya, “Tetapi kalau sama saya suka kasar, ringan tangan, main bentak. Dia suka seenaknya sendiri kalau sama saya.” ⁣
“Sebaiknya apa yang harus saya lakukan terhadap anak saya?” tanya seorang ibu, “Soalnya dia belakangan sering kasar sama saya. Sukanya main perintah. Kalau diingatkan marah. Padahal saya sudah mendidiknya dengan baik.” ⁣
Nah, ini konsekuensi sangat wajar dari ayah yang kurang ajar sama istrinya. Jika anak yang SD saja belum lulus sudah berani bersikap sangat kasar kepada ibunya, memperlakukan ibu seperti budak dengan ringan main perintah, maka apa yang terjadi setelah usianya semakin bertambah?? Sedangkan ia dikader oleh ayahnya untuk menjadi suami yang buruk sekaligus bersikap kasar pada ibunya. Bukankah sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya? Ukuran baik ini bukan royal. Apalagi jika royal disertai akhlak buruk kepada ibu.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Powered by Blogger.
close