Menyerap Makna ‘Fitnah Dunia’


MENGAPA
 Allah meletakkan kita di dunia ini, namun melarang kita terlalu terikat dengannya? Padahal, di saat bersamaan, Allah justru telah menanamkan ketertarikan kepada dunia ini di dalam jiwa kita.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup duniawi, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Qs. Ali ‘Imran: 14)

Sebaliknya, Allah mendorong kita untuk lebih melihat kepada akhirat dan mengutamakannya. Al-Qur’an menyatakan: “Adapun orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka, sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (Qs. an-Nazi’at: 37-41)

Apakah Al-Qur’an saling bertentangan? Tentu saja tidak. Bila demikian, apa maksud Allah dengan semua ini? Mari kita mengkajinya.

Sebuah ayat Al-Qur’an memberikan jawabannya. Disana dikatakan: “Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah), dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. Al-Anfal: 28). Ada banyak ayat lain yang senda dengannya, misalnya surah at-Taghabun: 14-15 dan al-Anbiya’: 35.

Ketika menafsirkan kata “fitnah” dalam ayat di atas, al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata, “Yang dimaksud fitnah adalah cobaan dan ujian yang akan menampakkan apa-apa yang ada di dalam jiwa, yakni apakah ia memperturutkan hawa nafsu ataukah menjauhinya.”

Sebab, menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, secara bahasa “fitnah” aslinya bermakna menguji dan mencari tahu, dan salah satu bentuk turunannya berarti memasukkan emas ke dalam api agar mencair dan bisa dipilah dari logam-logam lain yang tercampur kepadanya.

Tentu saja, dunia dan segenap isinya tidak akan menjadi ujian dan cobaan apabila jiwa kita tidak pernah tertarik kepadanya. Sebagai misal, bila Anda membenci jengkol, maka sejuta promosi kelezatan semur jengkol tidak akan membuat Anda ngiler.

Sebaliknya, karena jiwa telah diprogram untuk mencintai lawan jenis, anak keturunan, emas, perak, kendaraan terpilih, hewan ternak, dan tanah, maka semua ini pasti menjadikan kita tergiur, bahkan lalai dari tujuan hidup yang sesungguhnya. Lalu, mulailah sebagian orang jungkir-balik mengejar dan mengumpulkannya, sampai tidak memperdulikan halal-haram, tidak memperhatikan shalat, dan bahkan terang-terangan menanggalkan agamanya. Na’udzu billah.

Jadi, dunia menjadi fitnah bagi kita justru karena kita sangat tertarik kepadanya. Pada saat itulah, akan menjadi nyata siapa diantara kita yang pandai menahan diri dan memperhatikan pilihan-pilihannya, atau sebaliknya: menjadi liar dan tak terkendali, semata-mata memperturutkan hawa nafsu.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang cerdas adalah seseorang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk (mempersiapkan kehidupan) sesudah kematian, sedangkan orang lemah adalah seseorang yang memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan mendapat rahmat Allah.” (Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits dha’if).

Allah juga sengaja menghias dunia ini sedemikian indah, karena ia memang didesain sebagai perangkat ujian bagi umat manusia. Dalam surah al-Kahfi: 7, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”

Jika saja dunia ini sedemikian buruk dan tidak menarik, maka hati semua orang pasti berpaling darinya, sehingga kualitas ujian itu pun tidak layak dipercaya. Karena laki-laki sudah ditakdirkan tertarik pada kecantikan wanita, maka perzinaan pun perlu dilarang dan disediakan jalan terbaik untuk menyalurkannya, yaitu menikah.

Perintah menikah dan larangan berzina menjadi relevan bagi manusia karena kedua jenis kelamin tersebut memang sudah diciptakan untuk saling tertarik. Sebaliknya, manusia sebenarnya tidak perlu dilarang atas sesuatu yang secara naluriah mereka jijik kepadanya, misalnya memakan kotoran atau menyukai sesama jenis. Jika mereka masih melakukannya juga, kita segera tahu bahwa orang seperti itu sakit dan perlu diobati.

Jadi, pelaku homoseks dan lesbi mestinya tidak boleh dibela atau dianggap sebagai realitas sosial yang wajar, lalu dibiarkan eksis dan berkembang. Sebab, sebenarnya mereka adalah sekumpulan orang sakit mental yang harus mendapat pertolongan dan terapi, agar segera pulih kesehatannya.

Ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan secara jelas bahwa dunia adalah perangkat dan alat mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Oleh karenanya, sebagai alat ia harus ditempatkan dan difungsikan sebagaimana mestinya.

Sa’ad bin Abi Waqqash bercerita, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menolak permintaan ‘Utsman bin Mazh’un untuk hidup membujang dan berkonsentrasi dalam ibadah. Andaikan beliau mengizinkannya, pasti kami sudah mengebiri diri kami sendiri.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Di sisi lain, Al-Qur’an mencela orang yang hanya mengejar dunia dan melupakan akhirat: “Maka berpalinglah kamu (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Qs. An-Najm: 29-30).

Demikianlah. Kita tidak diajarkan untuk menolak dunia secara total, sebagaimana para rahib dan biarawan. Namun, kita juga tidak diizinkan untuk menempatkan dunia diatas segalanya, seperti kaum materialis. Kita adalah umat pertengahan diantara keduanya. Wallahu ‘alam.

Ust. M. Alimin Mukhtar
Sumber : www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close