Pejuang Hebat yang Hidupnya Melarat
Bangsa Indonesia pernah memiliki pejuang-pejuang hebat yang memikirkan rakyat, sampai-sampai kehidupan pribadinya sengsara dan melarat
Dikutip dari Hidayatullah.com | BANGSA INDONESIA di masa lalu pernah memili tokoh-tokoh bangsa yang seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara, hingga mereka tidak sempat lagi berfikir untuk keluarga (bahkan) kehidupan pribadinya. Dalam rubrik “Loekisan Hidoep” Majalah Aliran Baroe No. 34 (1941), ada kisah menarik dengan judul utama “OH….IDEALISTEN!” Bahasa Belanda yang artinya “Oh …. Idealis!”
Di dalamnya disebutkan gambaran menarik betapa para pejuang dengan segenap kemasyhuran dan kontribusinya di tengah-tengah masyarakat, justru banyak sekali mengalami penderitaan hidup, baik dirinya sendiri maupun keluarganya.
Dengan ketenaran yang didapatkan, bisa saja mereka memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Nyatanya tidak, kehidupan mereka lebih banyak susah daripada enak.
Dalam paragraf pertama disebutkan, “Hampir tiap idealist jang mengoerbankan fikiran dan tenaganja oentoek keperloean rakjat, kebanjakan tidak pernah merasakan kenikmatan hidoep boeat diri sendiri. Dibibir publiek, ia disandjoeng dan dipoedji, sedang hakikatnja penghidoepannja koetjar katjir. Roemah tangganja tidak teratoer, anak isterinja hidoep terlantar.” (Halaman: 8).
Kasman Singodimejo dalam buku “100 tahun Haji Agus Salim” (1996: 163, 175) menceritakan, suatu ketika melihat secara langsung kondisi Haji Agus Salim. Diplomat pejuang itu mengontrak sebuah rumah di gang yang jalannya becek dan sempit.
Beliau pernah mengatakan, “Leiden is lijden” (memimpin itu menderita). Kata-kata ini lahir setelah melihat kemelaratan “The Grand Ould Man”, KH. Agus Salim, seorang politisi muslim kawakan dan dikenal sebagai ulama yang penuh kesederhanaan.
Diplomat jenaka ini selama hidupnya memilih hidup sederhana. Walau ada kesempatan untuk menjadi kaya, namun selama hidupnya melarat. Tempat tinggalnya selalu berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Bahkan, pernah istrinya muntah-muntah di tempat kontrakan yang WC-nya sedang rusak.
Meski begitu, perjuangan beliau sangat besar bagi bangsa ini. Sebagai contoh, beliau sukses melakukan diplomasi ke luar negri, sehingga kemerdekaan Indonesia bisa diakui di tingkat internasional.
Rata-rata pada waktu itu, kehidupan para pejuang begitu melarat. “Djarang sekali terlihat seorang politicus tjap djelata, istimewa di Indonesia, seorang ahli seni, sjair, componist, pengarang dan lain lainnja lagi jang merasakan kehidoepan mewah.” (Majalah Aliran Baroe No. 34 (1941).
Saat salah satu anaknya meninggal dunia dan sudah dimandikan, Haji Agus Salim belum memiliki kain kafannya karena begitu melaratnya. Padahal, siapa yang tak tahu jasa-jasa besar beliau untuk Indonesia?
Menanggung derita
Demikian juga misalnya Buya Hamka dan AR. Baswedan. Suatu hari, Hamka menulis surat kepada AR. Baswedan. Di antara isi suratnya, “Kita lihat pengandjoer bangsa, pemimpin perkoempoelan agama, pergi ke tengah tengah masjarakat oemmat dan bangsa tampil kemoeka, padahal, badjoe isteri sendiri tak terganti, kadang-kadang penitinja tergadai; kain anak tertoekar, padahal lebaran soedah datang.” Majalah Aliran Baroe No. 34 (1941).
Apakah dengan kondisi itu membuat mundur perjuangan. Kata Hamka, “Akan moendoer? Doeh, pantang laki-laki soeroet poelang! Tida akan mondoer? Dapoer ta berasap, anak ta berbadjoe! Isteri meminta dibelikan kain! Meskipoen ta’ dimintanja kita sendiripoen merasa poela. Crisis…crisis ibarat orang sakit gigi, kita sadja jang menderita, orang lain ta’tahoe.”
Kondisi sesulit apapun tidak membuat semangat kendur; justru yang ada malah siap tempur dalam memperjuangkan idealisme dan cita-cita.
Kondisi demikian sama sekali tidak membuat mereka mundur. Mereka tetap maju dengan muka berseri-seri penuh optimis. Sedangkan hatinya tulis Hamka, “Mengadoe sadja kepada Allah; ‘ja Toehan, berilah hambamoe ini kelapangan dan ketegoehan!’ Kelapangan itoe poen datanglah!”
***
Apa yang tertulis dalam Majalah Aliran Baroe memang benar adanya. Banyak sekali contoh yang menggambarkan betapa sengsara dan melaratnya kehidupan pribadi para pejuang.
Syafruddin Prawiranegara, pernah menjabat menteri, wakil Perdana Menteri, Gubernur BI dan lain-lain, pernah tidak bisa membeli popok buat anaknya. Buya Natsir harus menggadaikan perhiasan istrinya untuk membiayai sekolah Pendis (Pendidikan Islam) yang didirikannya, bahkan ketika menjadi Perdana Menteri memaka jas bertambal. Sutan Syahrir harus menjual mesin ketiknya, untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bung Hatta, tak mampu membeli sepatu impiannya. Dan masih banyak contoh lainnya.
Apa mereka mundur dari perjuangan? Sama sekali tidak. Meminjam surat Hamka kepada AR. Baswedan, “Kita sadja jang menderita, orang lain ta’ tahoe.” Atau meminjam istilah Kasman, “Pemimpin itu menderita.”
Dunia tidak pernah menguasai hati mereka, meski punya kesempatan menggenggamnya. Mereka paham bahwa manusia, sebagaimana sabda Nabi, di dunia ini laksana musafir yang sedang berteduh, sementara dan tak abadi di dalamnya. Meski di dunia mereka terlihat hidupnya sulit, tapi bisa jadi di akhirat masuk kelas elit. Rahimahumullah rahmatan waasi’ah. */Mahmud Budi Setiawan
Rep: Admin Hidcom
Post a Comment