KAJIAN Kisah Taubat Sastrawan Lekra/PKI



Boejoeng Saleh awalnya dikenal sebagai seniman berideologi Marxis-Komunis,  saat di Pulau Buru ia bertaubat dan menjadi muslim yang taat

Dikutip dari Hidayatullah.com | NAMANYA Saleh Iskandar Poeradisastra, sering disingkat S.I Poeradisastra. Ia punya nama lain, Boejoeng Saleh. Nama ini, di kalangan seniman pada masa lalu, cukup dikenal. Ia berideologi Marxis-Komunis.

Sebagaimana seniman dan sastrawan berideologi kiri lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani, Boejoeng Saleh juga aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang menjadi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Uniknya, ketiga sastrawan kiri ini memiliki akhir hidup yang mengesankan. Sebelum wafat, Utuy berwasiat jenazahnya diurus cara Islam.

Pram, panggilan Pramoedya Ananta Toer, mengirim putrinya untuk belajar pada Buya Hamka. Bahkan ia memuji kehebatan tauhid ulama asal Minangkabau tersebut. Sementara Boejoeng Saleh, bertaubat sebelum wafat dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam di akhir hayat.

Kisah pertaubatan Boejong Saleh dapat dibaca dalam buku “Mengenang Hidup Orang Lain” karya sastrawan terkenal Ajip Rosidi. Di buku itu, Ajip menceritakan ketiga sosok sastrawan dan seniman kiri di atas.

Uniknya, baik Pram, Utuy, dan Boejoeng, seperti diceritakan Ajip, pernah merasakan kesulitan ekonomi, sebelum akhirnya ‘direkrut’ oleh Lekra/PKI. Pram bahkan pernah mengetuk pintu rumah Ajip hanya sekadar untuk minta sesuap nasi, karena sudah beberapa hari tidak makan. Dan, ketiganya, di akhir hayatnya terlihat luntur bahkan hilang kekiri-kiriannya.

Kembali kepada S.I Poeradisastra alias Boejoeng Saleh. Sebagai seniman Lekra ia pernah bertugas mengajar di Moskwa  Rusia. Sepulang dari negeri komunis itu, ia diangkat jadi Sekjend Baperki (Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia), organisasi yang didirikab oleh Siau Giok Tjan yang berideologi kiri. Setelah itu, Boejoeng dibuang ke Pulau Buru.

Di Pulau Buru inilah, kata Ajip Rosidi, Boejoeng mendapatkan hidayah dari Allah. Melalui bimbingan seorang dai yang ditugaskan di pulau itu, Boejoeng akhirnya kembali menjadi muslim dan terlihat taat dalam beribadah.

Sebelumnya, di tahun 50-an, kenang Ajip, sastrawan Aoh K. Hadimadja pernah bertanya kepada Boejoeng, “Sebagai Marxis apa saudara percaya akan adanya Tuhan atau tidak?”

Setelah berpikir sejenak, Boejoeng menjawab, “pada saat-saat tertentu memang saya merasa bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar dari kita…”

Pertanyaan dan jawaban itulah yang  mungkin terus terekam dalam ingatan Boejoeng. Hingga akhirnya di Pulau Buru ia bertaubat dan menjadi muslim yang taat.

Setelah itu, Boejoeng Saleh menulis sebuah buku berjudul “Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern” seperti terlihat dalam gambar. Ini tentu sangat menarik, karena ditulis oleh seorang mantan penganut Marxis-Komunis.

Dalam pengantar bukunya, Boejoeng Saleh menulis ucapan terimakasih kepada para tokoh, di antaranya Taufiq Ismail, Ali Audah, Endang Saifuddin Anshari, dan Bambang Pranowo. Nama terakhir ini pernah ditugaskan sebagai dai di Pulau Buru. Kabarnya, yang menugaskan adalah Mohammad Natsir.

Demikian sedikit kisah tentang S.I Poeradisastra alias Boejoeng Saleh. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa-nya dan menerima amal ibadahnya. Aamiin…*/Artawijaya, wartawan dan penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” dan “Jaringan Yahudi Internasional”

Powered by Blogger.
close