Majelis Tarjih Muhammadiyah: Isbal Hukumnya Mubah, Jangan Terpecah karenanya


Dikutip dari Hidayatullah.com—Majelis Tarjih hukum isbal adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak didasari oleh motif sombong. Juga jangan sampai kain (pakaian, celana, dan sarung) yang kita kenakan sampai menyentuh tanah.

Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Menurut Tarjih Muhammadiyah, masalah pakaian, makanan, dan minuman, adalah termasuk masalah sosial-budaya dan atau tergantung kebiasaan di mana manusia berdomisili. 

“Pakaian adalah termasuk urusan keduniawian yang hukum asalnya adalah mubah (dibolehkan), ” demikian pendapat Tarjih Muhammadiyah dikutip laman resmi PP Muhammadiyah, Selasa (10/1/2023).

Karena itu Tarjih Muhammadiyah mengingatkan jangan sampai antar umat Islam terpecah belah, saling menuduh dan curiga, merasa paling benar (dengan tidak ber-isbal), bahkan saling menghujat hanya karena masalah isbal ini.

“Kita harus saling menghormati antara mereka yang mempraktikan isbal dan yang tidak. Jika kita terus menerus saling menghujat dalam hal ini ditakutkan energi umat Islam akan cepat habis di wilayahnya sendiri,” demikian di laman tersebut.

“Padahal masih banyak masalah lain terutama keterbelakangan umat Islam dari berbagai segi, baik itu sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan, membutuhkan kekuatan bersama umat Islam untuk mengatasi keterbelakangan tersebut.”

Menurut Tarjih, secara terminologi isbal adalah memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan kain, pakaian, celana atau sarung hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.

“Jika ditelisik hadis-hadis seputar isbal ini sangat banyak (mencapai derajat mutawatir) dan para perawi pada jalur sanad di dalamnya terkategori sebagai perawi yang bisa diterima riwayatnya. Permasalahan isbal ini termasuk dalam masalah khilafiyah, di mana para ulama banyak yang berselisih pendapat, terutama ketika memahami hadis-hadis seputar masalah ini,” kutip laman Muhammadiyah.or.id.

Menurut Tarjih Muhammadiyah, hadis-hadis tersebut bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, hadis yang mengharamkan isbal secara mutlak. Kedua, hadis yang mengharamkan isbal karena motif kesombongan.

Hadis yang menunjukan mutlak (keumuman) haramnya isbal, misalnya, yaitu: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi ï·º bersabda yang artinya, “(bagian) kain yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka” [HR. Bukhari, bab kain yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah di neraka, no. 5654].

Sedang hadis yang mengharamkan isbal (yang di-taqyid/dibatasi) karena motif kesombongan, misalnya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwasannya Rasulullah ï·º  bersabda yang artinya: “Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan pakaiannya (dikarenakan) sombong. [HR. al-Bukhari, bab firman-Nya: Katakanlah barangsiapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang diberikan oleh Allah pada hamba-Nya) (al-A’raf : 32), no. 5650].

Menurut Majelis Tarjih, hadis-hadis tentang isbal mesti dibawa pada pembacaan muqayyad dengan alasan banyak riwayat tentang masalah ini ada dalam satu topik. Riwayat lain yang bisa digunakan sebagai taqyid adalah seperti yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dari Abi Bakrah: “Diriwayatkan dari Abu Bakrah ra. berkata,  yang artinya; “Telah terjadi gerhana matahari dan kami masih bersama Nabi ï·º. Nabi pun berdiri (dalam keadaan) menjulurkan pakaiannya (berjalan) tergesa-gesa sehingga beliau sampai di masjid dan orang-orang telah berkumpul. Lalu beliau shalat dua rakaat (khusuf-shalat gerhana) hingga ia selesai. Kemudian menghadap kami dan bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Jika kamu melihat tanda-tanda tersebut, shalat dan berdoalah pada Allah hingga tersingkap (terlihat matahari tersebut)” [HR. al-Bukhari kitab pakaian, bab siapa yang menjulurkan kainnya tanpa (didasari) kesombongan, no. 5652].

Riwayat ini terpahami bahwa Nabi  ï·º pun pakaiannya panjang terjulur ketika beliau sedang berjalan meskipun tergesa-gesa.  

Ada pula hadis: Diriwayatkan dari Abu Tamimah al-Hujaimi dari Jabir bin Sulaim berkata, yang artinya; “Aku mendatangi Nabi Saw. (yang sedang dalam keadaan) tertutup badannya dengan mantel (dari kain wol dan juluran kain tersebut hingga kedua kakinya” [HR. Abu Dawud, kitab pakaian, bab tepi kain, no. 4075]

Bagaimana dalam riwayat di atas, mantel yang digunakan oleh Rasul ï·º menjulur hingga kedua kakinya.  Dan keadaan Rasulullah  ï·º dalam riwayat ini adalah biasa bukan tergesa-gesa sebagaimana riwayat sebelumnya, tulis laman itu.

“Demikian menguatkan bahwa memanjangkan kain tanpa didasari motif sombong tidak akan menyebabkan pelakunya diancam dengan ancaman sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat di atas.”*

Rep: Ahmad

Powered by Blogger.
close