Fadli Zon di Antara Lorong Waktu


Hidup seperti menyusuri lorong waktu. Di dalamnya banyak cerita dan peristiwa. Pada setiap jalan yang dilalui, pasti ada hikmah dan pelajaran

Dikutip dari Hidayatullah.com | SAYA termasuk orang yang senang membaca buku otobiografi dan buku biografi, siapa pun tokohnya. Karena pada setiap orang, tentu ada kisah hidup yang beragam. Dengan kisah-kisah yang kita baca, kita bisa memetik pelajaran dan mengambil inspirasi.

Saya tidak sedang mempromosikan Fadli Zon, tetapi ingin berbagi cerita dari otobiorafi yang ditulisnya, yang saya tuntaskan baca pagi ini.

Era tahun 90-an, Fadli dikenal sebagai sosok anak muda yang cerdas, berprestasi, dan memiliki jaringan yang luas. Sejak SMA sudah aktif membantuk forum kajian ilmiah dan kajian keislaman, ikut dalam lingkar pengajian (liqo’) dengan mentor para aktivis dakwah, dan menulis di media massa nasional.

Di usia 20-an, Fadli juga mampu membangun jaringan yang luas ke berbagai kalangan; sipil atau pun militer. Ia anak muda yang akrab dengan orang-orang besar/senior dari kalangan para intelektual, sastrawan dan budayawan, ulama dan aktifis pergerakan, dan para petinggi militer.

Semua jaringan itu terjalin karena intelektualitas Fadli dan prestasinya. Dan,  karena orang mengapresiasi dua hal dari sosoknya tadi.

Nasab pergerakan Fadli sebenarnya lebih dekat ke gerakan Islam. Ia pernah aktif di Rohis SMA, pengurus Gerakan Pemuda Islam (GPI), wartawan Majalah Suara Hidayatullah, wartawan Harian Terbit, aktifis Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), salah seorang pendiri Partai Bulan Bintang (PBB), dan lain-lain.

Fadli memang dikenal dekat dengan para pentolan aktifis pergerakan Islam saat itu, seperti Anwar Harjono, Hussein Umar, KH A Cholil Ridwan, Abdul Qodir Djaelani, Ahmad Sumargono, KH Cholil Badawi, Hartono Mardjono, dan lain-lain. Ia juga bersahabat akrab dengan Dzikrullah, dan bergabung menjadi Wartawan Hidayatullah.

Fadli juga dikenal sebagai anak muda, yang berhasil membangun komunikasi antara tentara, pemerintah, dengan gerakan atau ormas Islam, khususnya  Dewan Dakwah, pada senja kala kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto.

Awalnya, banyak yang menduga bahwa Fadli dibesarkan oleh Prabowo. Ternyata tidak. Ia sudah besar dan memiliki jaringan yang luas, jauh sebelum kenal dengan Prabowo.

Bahkan, menurut keterangannya, tak pernah ia memanfaatkan Prabowo untuk kepentingan finansial pribadinya. Ide untuk membuat Partai Gerindra pun, bukan dari Prabowo, tetapi dari Fadli, dkk.

Setidaknya ada lebih dari tiga kali saya bertemu dan berbincang langsung dengan Fadli Zon. Pertama waktu ia menginisiasi untuk melakukan acara semacam daurah selama tiga hari kepada anak-anak muda tentang ideologi komunisme dan bahayanya, termasuk memetakan Komunisme Gaya Baru (KGB) yang saat itu sedang ramai.

Waktu itu kebanyakan pesertanya adalah anak-anak muda aktifis Islam dari Tanah Abang. Acaranya di Graha Insan Cita, Depok. Pembicaranya selain Fadli Zon adalah Taufiq Ismail (paman Fadli), dan Alfian Tanjung (Ketua Hammas), dll.

Sebelum acara itu, Saya bertemu dan ngobrol dengan Fadli di kantor Institute for Policy Studies (IPS) di kawasan Benhil, Jakarta Pusat, lembaga yang didirikan Fadli. Di kantor ini saya bertemu juga dengan Ricky, adik kandung Fadli, yang  tamat dari kuliah di Al-Azhar, Cairo, Mesir.

Saya juga bertemu beberapa anak LIPIA, yang entah sedang bekerja di situ atau sedang berkunjung saja. Setelah itu, saya banyak ketemu dengan Fadli sebagai narasumber dari Majalah Sabili, tempat saya bekerja. Kesan Saya saat berbincang dengannya, bacaannya luas, dan analisanya cerdas.

Sekali lagi, ini bukan sedang mempromosikan sosok Fadli Zon. Tetapi berbagi cerita dari otobiografi yang ditulisnya.

Pelajarannya:

Pertama; dengan kapasitas keilmuan dan intelektualitas yang kita bangun, kita tidak akan canggung bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan para tokoh yang lebih senior dari kita.

Kedua; intelektualitas tak akan berguna jika kita tidak aktif terjun berkontribusi dalam persoalan-persoalan di lapangan dan kritis terhadap berbagai penyimpangan.

Antara intelektualisme dan aktifisme harus sejalan. Jangan seperti orang yang hidup di atas menara gading; kepala tidak bisa menyundul ke langit, kaki tak menapak ke bumi.

Ketiga; banyak-banyaklah membangun jaringan di saat muda.*/Arta Abu Azzam

  • Judul Buku    : Fadli Zon Menyusuri Lorong Waktu
  • Penerbit        :  Fadli Zon Library
  • Halaman       : 522
Powered by Blogger.
close