Paradoks: Tindakan Mendahului Ucapan Bukan Ucapan Mendahului Tindakan
Oleh: Beta Pujangga Mukti
Ada paradoks dari program moderasi, narasi-narasi tendensius bahkan diikuti dengan ujaran dan provokasi kebencian
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS: Ash-Shaff: 2)
Hidayatullah.com | ASBABUN NUZUL ayat ini adalah tatkala Rasulullah ﷺ dengan para sahabat mengadakan usrah dengan bermudzakarah. Sambil duduk-duduk mereka menanyakan pasal amalan yang paling istimewa dan dicintai oleh Allah.
Maka Rasulullah ﷺ pun menyampaikan tentang keutamaan “berjihad” di jalan Allah. Jihad adalah terminologi yang membawa maksud kesungguhan, keupayaan dalam ikhtiar dan dilakukan secara berterusan (istiqomah) dalam konteks kebaikan.
Tidak selalu bermakna “perang”, kalaupun ia dibawa kepada maksud perang, maka perangnya pun dalam kebaikan. Seperti istilah yang ditulis oleh Jamil Zaki dalam bukunya dengan judul “The War for Kindness”.
Jamil memaknai ayat ” Fastabiqul khairat” bukan sekadar berlomba-lomba dalam kebaikan, tetapi “perang” (Jihad) untuk/dalam kebaikan. Jika dalam kebaikan diperlukan jihad, maka ia haruslah ber-strategi dalam memenangkannya.
Mafhum bahwa dalam kehidupan selalu ada hitam dan putih, dalam misi membawa kebaikan pun tentu dan sudah pasti akan ada kejahatan/keburukan yang menyertai.
Namun, kebenaran bisa saja KALAH, tetapi ia tidak akan pernah SALAH. Maka dalam jihad kebaikan ini diperlukan taktik jitu dan strategi yang matang, selain juga terorganisir dan dilakukan secara masif.
Jika tidak maka kejahatanlah yang akan mengambil peran sebab telah diorganisir dengan baik. Meskipun jihad kebaikan ini berat dan sukar dilakukan, tetapi di dalamnya amat besar keutamaan.
Sehingga dikatakan sebagai amalan yang paling dicintai oleh Allah. Banyak manusia yang ingin keutamaan, para sahabat Nabi pun bersemangat ingin menjalankan.
Namun semangat itu hanya terlontar dalam ucapan, paling jauh hanya sampai kerongkongan, tidak sampai menyentuh hati apatah lagi mewujud menjadi perbuatan. Bahkan apa-apa yang belum/tidak dikerjakan tapi dengan fasih-nya ia bisa menjelaskan dan menyuruh orang untuk mengamalkan.
Sehingga semangat berujar tapi defisit pelaksanaan ini diberikan ultimatum oleh Allah dengan teguran;
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS: Ash-Shaff: 3).
Fakta dan fenomena hari-hari ini, dalam konteks pemikiran dan sikap dalam beragama dan berbangsa, menunjukkan bahwa semangatnya hanya manis di bibir saja.
Soal moderasi beragama misalnya, digaung-gaungkan bahkan menjadi salah satu program prioritas yang diusung. Salah satu implementasi sikap moderasi beragama ini seharusnya bisa dinampakkan dengan sikap saling menghormati dalam masalah perbedaan penetapan kalender hijriah, yang sedang senter baru-baru ini.
Namun yang kita lihat ada paradoks dari program moderasi ini. Beberapa oknum justru dengan kritik yang disampaikan kerap bersifat tendensi dan stigma negatif, ini tentu paradoks dengan ruh moderasi beragama yang digaungkan.
Narasi-narasi tendensius ini bahkan diikuti dengan ujaran dan provokasi kebencian. Sikap dan pemikiran seperti ini justru menunjukkan kekerdilan bukan keadaban. Sangat disayangkan.
Sedangkan dalam konteks berbangsa, juga tidak jauh berbeda. Slogan “Jihad” Konstitusi juga sebatas kata-kata, bungkusnya narasi-narasi yang cantik, tapi dalam praktiknya masih jauh panggang dari api.
“Jihad” membangun pilar-pilar demokrasi, justru dalam praktiknya malah dihancurkannya sendiri. “Jihad” menegakkan keadilan hukum, faktanya martabat hukum justru dilumpuhkan.
Hukum yang tadinya tidak takluk oleh kuasa, menjadi ciut dan tak berdaya. Padahal ia hanya alat, dan alat itu digunakan oleh penguasa yang besar nafsu dan syahwatnya.
Apatah lagi soal politik. Jihad untuk mengangkat derajat politik kepada high pilitics rasanya berat, sebab kekuatannya tidak banyak berbanding dengan kekuatan yang ingin membawa politik kepada low politics.
Sehingga tepat jika gelar NATO disematkan kepada mereka (baca: PENGUASA) yang manis bibirnya tapi beracun hatinya. Not Action Talk Only.
Pada akhirnya, masih ada iman yang menjadi kompas penunjuk arah untuk terus berada di jalan kebaikan/jalan lurus. Dan cukup teguran Allah dijadikan peringatan, bahwa orang beriman jangan hanya pandai berujar tetapi juga harus melakukan apa yang telah dikatakan.
Perbuatannya harus lebih dulu mendahului ucapannya. Itulah keteladanan yang utama.*
Mahasiswa PhD di Islamic Development Management Studies, USM
Sumber www.hidayatullah.com
Post a Comment