Lima Indikator Pemimpin Ideal, Beda Antara Leader dan Dealer!
MEMANG tidak sederhana menjadi seorang pemimpin yang legal secara formal dan legitimate (dicintai bawahannya). Sebelum seseorang diakui dan diamini menjadi pemimpin memerlukan seleksi yang ketat dan berproses secara alamiah (natural).
Sedangkan rakyat, ketika lahir di dunia ini secara otomatis menjadi rakyat. Karena, kalangan menengah dan ataslah yang memiliki kemampuan untuk memilah-milah, memilih, memetakan, dan mengurai serta memutuskan persoalan (ahlul hall wal ‘aqd). Sedangkan kelompok kedua, kehadirannya tidak memerlukan kompetensi khusus.
Kepemimpinan yang berkualitas (leader) adalah persoalan krusial (fundamental) di dalam membangun bangsa dan negara.
Dalam struktur yang dikenal di masyarakat hanya terdiri dari dua level. Kalangan atas (al-Qiyadah) dan kalangan bawah, grass root (al-Jundiyah).
Bapak sosiolog muslim, Ibnu Khaldun mengatakan: Taghyiru khuluqil ummati tabi’un litaghyiri khuluqil qiyadah (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah pada kalangan elitisnya).
Ada ungkapan lain yang memiliki makna senada: Ar Ra’iyyatu ‘ala dini mulkihi (kualitas agama rakyat berbanding lurus dengan mutu keaga maan rajanya).
Jadi, sejak dahulu sampai sekarang masyarakat kita pada umumnya memiliki karakteristik paternalistik. Gampang untuk sendika dhawuh (sami’na wa ‘atha’na), patuh terhadap petuah pemimpin yang melayani mereka, memahami dan menampung aspirasi yang dipimpin.
Bahkan, kualitas seorang pemimpin tidak semata-mata ditentukan oleh ketrampilannya dalam berorasi dan berdiplomasi (katsratur riwayah), tetapi diukur dari kemampuannya dalam mendengar dan melayani (katsratur ri’ayah wal Istima’).
Hal itu diperkuat dengan ungkapan Umar bin Khathab: Sayyidul Qaumi khadimuhum (penghulu sebuah komunitas adalah yang trampil melayani mereka dalam berbagai kebutuhannya, dan menampung aspirasi, keluhan mereka, bukan yang mengkhianati mereka (khadi’uhum).
Oleh karena itu, bila suatu bangsa memilih pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi yang unggul, kreatif, visioner, prospektif, maka akan mengantarkan penduduknya dapat menikmati dan memaknai masa depannya.
Sebuah bangsa akan bangkrut, merugi, secara moral dan material, tidak memiliki daya saing dengan bangsa lain, dan akan terjadi chaos di dalamnya apabila stok kepemimpinan yang dimilikinya tidak berkualitas.
Jika kita menoleh ke belakang, krisis multidimensional (moral dan material) yang pernah menggerogoti Negara kita salah satu diantara faktor penyebabnya berpangkal dari kepemimpinan nasional yang kandas membawa bahtera Indonesia untuk berlabuh menuju pulau harapan.
Pemimpin saat itu gagal membawa Indonesia untuk bangkit dari kehinaan, kebodohan, keterjajahan pisik dan mental, serta melepaskan diri dari kualitas kehidupan yang rendah.
Secara obyektif kita mengakui bahwa pada tahun-tahun pertama rezim Orde Baru ada kreativitas dan komitmen (keterikatan yang kuat) untuk membangun bangsa yang sungguh-sungguh dengan visi jauh ke depan. Tetapi, dengan pergiliran dan perguliran waktu, harapan itu tidak berhasil diwujudkan secara kongkrit (realistis). Bahkan kepemimpinan nasional mengalami de-generasi dan demoralisasi.
Model kepemimpinan pada masa itu hanya difokuskan untuk mempertahankan status quo. Soeharto hanya bertindak sebagai penguasa bukan sebagai sosok negarawan.
Peristiwa malapetaka Januari 1974 merupakan bukti yang sangat valid fenomena pembusukan dari dalam kepemimpinan Orde Baru. Peristiwa Malari, di mana para mahasiswa dan tokoh kampus melakukan protes keras untuk menggugat rezim yang sedang berkuasa, karena tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat kecil (wong cilik), tetapi membela wong licik (pengkhianat bangsa).
Demikian pula pada era reformasi, sekalipun kebebasan berserikat dan berpendapat mendapat salurannya yang memadai, tetapi penyelenggaraan ketatanegaraan kurang lebih sama dengan pemerintahan sebelumnya.
Penegakan hukum, pembrantasan KKN, keamanan, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan yang lain masih belum menunjukkan grafik kenaikan (baca : peningkatan) yang berarti.
Perubahan mendasar dan signifikan belum kunjung dirasakan oleh masyarakat bawah yang selama ini menjadi tulang punggung Negara. Pemerintahan yang ada berkuasa secara formal konstitusional tetapi tidak legitimate.
Lima Indikator Pemimpin Ideal
Untuk menghadapi tantangan abad ke – 21, secara sederhana dapat dikemukakan masalah strategis yang sepatutnya dipenuhi oleh unsur-unsur kepemimpinan nasional mendatang sebagai berikut :
Pertama: Profesional
Kualitas tokoh-tokoh nasional yang akan datang memiliki kualitas intelektual, integritas moral yang memadai dan visioner serta profesional. Tentu sangat fatal akibatnya tokoh-tokoh yang bergabung dalam kepemimpinan nasional ke depan memiliki mutu yang sepadan dengan rata-rata anggota masyarakat.
Ada suatu aksioma bahwa para pemimpin itu satu tingkat atau dua tingkat diatas kebanyakan rakyat yang dipimpin. Jika para pemimpin kurang bermoral, kurang cerdas, kurang terampil, akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat. Apalagi masyarakat kita masih paternalistik.
Nabi mereka mengatakan kepada mereka : Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab : Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak? (Nabi mereka) berkata: Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepadanya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui (QS. Al Baqarah (2) : 247)
Kedua: Clean Government
Kepemimpinan yang bersih dan berwibawa ini dimulai dari kepemimpinan yang jujur dan bersih dari cacat moral yang fatal. Pepatah asing mengatakan bahwa honesty is the best policy. Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik. Pemimpin itu harus jujur kepada dirinya, kepada masyarakatnya, dan yang terpenting adalah kejujuran kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pemimpin yang tidak jujur akan mudah terjatuh pada perangkap korupsi, kolusi dan nepoteisme, dan kemunafikan. Pemimpin yang banyak bertopeng, KKN, yang merupakan simbol kerusakan moral negeri ini terbukti menghancurkan kepemimpinan kita dari Orla, Orba dan Orde Reformasi. Pangkal kerusakan yang terjadi di pentas sejarah perpolitikan dunia terbukti diawali dari distribusi wewenang yang tidak merata kemudian diikuti oleh ketidakadilan distribusi ekonomi.
Ketiga: Berdedikasi Tinggi
Pemimpin adalah orang yang bersedia melakukan pengorbanan atas kepentingan pribadinya untuk kepentingan yang lebih besar. Yaitu kepentingan bangsa dan Negara. Kalau pemimpin mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai, dan familinya maka akan terjadi repetisi atau pengulangan kepemimpinan masa lampau.
Pengamat luar negeri mengatakan H.M. Soeharto sukses menjadi a very good father of family, tetapi gagal menjadi Father of Indonesia.
Pemimpin ke depan harus menyadari secara mendalam bahwa ia bukan sekedar menjadi anggota keluarganya, kelompok dan partainya, tetapi pemandu 250 juta lebih bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke dengan segala macam perbedaan, etnis, suku dan aspirasi yang harus direkonsiliasikan secara arif. Alangkah idealnya jika presiden terpilih mengundurkan diri dari partainya. Karena ia sudah menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kacamata agama dapat dipahami bahwa penghulu kaum itu sesungguhnya adalah yang sukses melayani mereka. Bahwa dalam berbagai bidang kehidupan yang lain jiwa melayani, mengabdi, dedikasi, adalah merupakan tolak ukur keberhasilan dalam memikul tugas dan tanggungjawab. Pemimpin tidak identik dengan penguasa, tetapi negarawan.
Keempat: Berjiwa Besar (permadani)
Gaya kepemimpinan yang dewasa (njawani, Bhs Jawa). Bisa menampung berbagai macam karakter. Seorang pemimpin yang reaktif, emosional, tentu akan menjadi pemimpin yang buruk. Tidak dapat memecahkan masalah-masalah dengan kepala dingin dan pikiran yang jernih, canggih, dan stamina jiwa yang prima.
Seorang pemimpin yang grusa-grusu (gegabah) hanya akan mengikuti panggilan emosinya. Padahal pemimpin itu orang yang pandai memaafkan kesalahan orang lain, bahkan ia memohonkan ampun atas kesalahan rakyatnya kepada Tuhan.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS:Ali Imran (3) : 159).
Kelima: Menerapkan Kepemimpinan Kolektif
Pemimpin ke depan harus menyadari bahwa ia tidak tahu segala-galanya dan tidak menguasai segala-galanya. Kepemimpinan kolektif harus menjadi alternatif model kepemimpinan ke depan.
Apalagi ciri yang menonjol masyarakat globalisasi adalah masyarakat jaringan. Kekuatannya terletak pada ketrampilannya dalam menjalin komunikasi lintas kelompok, partai, bahkan Negara (network).
Komunitas dinosaurus punah dari muka bumi ini karena memandang setiap perkembangan lingkungan sosialnya dipersepsikan sebagai ancaman, rivalitas, bukan dipandang sebagai anugrah dan mitra berpikir dan bekerja.
Kita tidak perlu mengulangi model kepemimpinan yang bersifat one man show (menonjolkan kharisma individu pemimpin) sebagaimana yang terjadi selama kepemimpinan Orba. Sebab, pola kepemimpinan terakhir mengakibatkan tsunami nasional yang terbesar.
Dengan kepemimpinan yang bersifat kolegal, diharapkan bangsa Indonesia memasuki masa depan dengan langkah yang pasti. Karena kemampuan pemimpin untuk mengelola dan mensinergikan berbagai potensi akan menjadi modal kekuatan bangsa.
Hanya Rasulullah Shallallahu ‘alahi Wassalam yang ma’shum, yang di dalam dirinya berhasil melakukan fungsi eksekutif, yudikatif dan legislatif sekaligus.
Dengan lima indikator di atas kiranya dapat membantu dalam memandu bangsa kita untuk memilih dan berpihak kepada pemimpin yang berkualitas. Siapa saja yang menang dalam berkompetisi pada pemilihan presiden setiap orde, semoga yang terpilih itu yang terbaik.
Karena itulah kepemimpinan yang berkualitas (leader), tidak sama dengan seorang dealer (calo, makelar, red).
Dengan selektif dalam memilih pemimpin, kita berharap tidak ingin keluar dari mulut macan dan singa, dan masuk ke mulut buaya. Dalam terma keagamaan, kita tidak boleh jatuh pada lubang kehancuran untuk kedua kalinya.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعْمَةَ اللّهِ كُفْراً وَأَحَلُّواْ قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah Subhanahu Wata’ala dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke dalam lembah kebinasaan.” (QS: Ibrahim (14) : 28).*
*) Ust. H. Sholih Hasyim, penulis adalah pemetik hikmah dan pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Kudus, Jawa Tengah
Post a Comment