Kuasailah Sains dan Teknologi


Oleh : Asih Subagyo

TULISAN
 ringkas ini, diilhami beberapa pekan lalu, saat kami bersilaturrahim ke kediaman Pemimpin Umum Hidayatullah, KH. Abdurrahman Muhammad hafidzahullahu ta’ala di Balikpapan. Seperti biasa, perbincangan diawali dengan yang ringan-ringan saja.

Kemudian pembahasan semakin melebar dan kemudian berada pada satu titik, yang excited menurut saya, yaitu tatkala beliau menekankan pentingnya umat Islam menguasai sains dan teknologi. Di mana, beliau dengan sangat tajam mengulas bahwa, kemajuan teknologi barat ini, tidak lepas dari perampokan terhadap penemuan ulama dan scientist muslim di masanya.

Pada saat itu ulama selain mengkaji ulumuddin, juga menterjemahkan karya-karya pemikir Yunani, yang kemudian dikoreksi dengan pemahaman Islam, dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan berbagai jenis riset, diberbagai bidang kajian dan keilmuan. Sehingga mampu menemukan dan melahirksn berbagai jenis teori, ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi teknologi dan tatanan kehidupan yang paling maju di masanya.

Jika mau dicarikan kambing hitam, maka jatuhnya Andalusia, pada tahun 1492, oleh Kristen Barat, merupakan petaka bagi umat Islam. Karena pada saat yang sama buku-buku koleksi perpustakaan (dalam sebuah tulisan disebutkan ada 70 perpustakaan publik di Andalusia) yang ratusan ribu jumlahnya itu, sebagian besar di bakar (terutama buku-buku keagamaan).

Sedangkan buku-buku ilmu pengetahuan lainnya, dicuri yang kemudian mengilhami pemikiran Barat, dan kemudian dikembangkan hingga saat ini. Sementara umat Islam semakin menjauh dari kajian-kajian sain dan teknologi hingga kini.

Epistemologi Islam

Kemudian beliau juga membahas problem pemahaman epistemologi, paska kekalahan perang salib-lah, yang menjadi penyebab dan faktor utama kemunduran peradaban Islam dalam konteks sains dan teknologi. Sehingga tanpa sadar umat terbelah dalam kutub yang berseberangan, yang melahirkan pemahaman sekularisasi pendidikan, dimana mereka yang disebut faqih “hanyalah” bagi mereka yang menguasai Ulumuddin semata. Sedangkan yang menguasai ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam termasuk sains dan teknologi bukan termasuk mereka yang faqih.

Padalah para saintis Islam pada masanya, sebagaimana disebutkan di awal, adalah mereka yang selain ahli di bidangnya (bahkan diberbagai bidang/polimath), juga faqih dalam ulummuddin, bahkan sebagian besar juga hafidzul Qur’an. Kemampuan mengintegrasikan ini menjadi tantangan umat Islam saat ini dan masa-masa mendatang.

Menggali kembali kembali epistemologi Islam, untuk menjadikan Islam superior lagi dalam peradaban dunia adalah sebuah keharusan. Beliau menyitir pendapat Al-Jabiri (Muhammad Abid Al-Jabiri), secara metode diambil, akan tetapi dengan kritis dan tajam perlu dikoreksi secara mendalam isi dan pemahaman Al-Jabiri yang liberal itu.

Konsep tentang bayani, burhani, irfani yang di usung oleh ulama liberal dari Maroko yang tertuang dalam kitabnya “Kritik Nalar Arab” (Takwin al-Áql al-‘Arabi), ini dinilai tidak obyektif tetapi cenderung mendelegitimasi konsep Islam. Sehingga Ulama Mesir, Muhammad Imarah mengkritiknya dengen menyebut ada 9 kesalan dan 3 dosa dari al Jabiri. Kendatipun demikian, beliau menambahkan konsep furqoni untuk lebih memberikan penekanan perlunya riset dan implementasinya.

Perbedaan Pemikiran

Yang menarik kemudian adalah dengan sangat fasih KH. Abdurrahman Muhammad juga menguraikan dan membahasakan dengan renyah konsep tentang cahaya, yang dilakukan oleh Newton dan Einstein yang sesungguhnya sangat terbelakang jika mampu sudah didahuli oleh Ar-Razi. Karena Newton dan Einstein hanya menggunakan akalnya semata, sementara Ar-Razi, menjadikan Al-Qur’an sebagai pijakannya.

Dengan ungkapan lain sebenarnya dapat diterangkan jika para pemikir dan saintis muslim itu dalam belajar, menulis, riset dan sebagainya, menggunakan kerangka iqra’ bismi rabbik, menjadikan Allah ta’ala sebagai pusat sari segalanya, maka produk-produk yang dihasilkan akan lebih unggul dibanding yang lain, selain pasti membawa kemaslahatan untuk umat.

Halaqah yang singkat, yang kurang dari 30 menit itu, menimbulkan rasa penasaran yang mendalam, dan kemudian, menjadikan saya untuk mencari berbagai referensi untuk mencari apa sih sebenarnya pokok bahasan yang dibahas oleh tiga tokoh itu, dari berbagai sudut pandang yang melahirkan konsep dan teori hingga saat ini.

Berikut adalah tabel perbandingan konsep dan teori tentang cahaya dari Newton, Einstein, dan Ar-Razi:

Perlu dicatat bahwa Ar-Razi hidup pada zaman yang berbeda dan memiliki keterbatasan pengetahuan dan teknologi yang tersedia pada zamannya. Oleh karena itu, kontribusinya terhadap pemahaman tentang cahaya tidak sebesar Newton dan Einstein yang hidup pada periode ilmiah yang lebih maju. Akan tetapi, setidaknya kontribusi Ar-Razi ini menjadikan pijakan bagi penelitian berikutnya.

Fokusnya, sesungguhnya bukan di Ar-Razi, Newton dan Einstein ini, akan tetapi adalah sebuah keniscayaan bahwa generasi Islam yang akan datang adalah generasi Islam yang unggul dalam keilmuan, sains, dan teknologi yang dilandasi dengan pemahaman ulumuddin serta al-Qur’an yang komprehensif. Sehingga, pada saatnya akan menjadi guru peradaban. Wallahu A’lam

*) Asih Subagyo, penulis adalah Kabid Pembinaan dan Pengembangan Organisasi DPP Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close