Nasib Muslimah Uighur: Dilecehkan, Dikurung, Kerja Paksa


Tim investigasi Radio Free Asia (RFA) berhasil menemukan banyak Muslimah Uighur menjadi korban kerja paksa dan sering mengalami pelecehan dan fisik

Dikutip dari Hidayatullah.com | ADA sebuah pabrik tekstil di daerah Maralbeksi, Kashgar, Turkistan Timur (Xinjiang). Namanya Wanhe Garment Co. Ltd. Belum lama ini tim investigasi Radio Free Asia (RFA) berhasil menemukan beberapa data penting terkait pabrik itu, usai mewawancari beberapa sumber seperti petugas keamanan pabrik, pejabat pemerintahan, dan beberapa pihak lainnya.

Perusahaan tersebut ternyata memiliki semacam perjanjian rahasia dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yarkand 2, yang lokasinya tidak terlalu jauh. Salah satu isi perjanjian itu: para siswa perempuan berusia 16 hingga 18 tahun dipaksa untuk dikirim bekerja di pabrik.

Pihak berwenang setempat menekan orang tua agar tidak keberatan mengirim anak-anak ke pabrik. Demikian dikisahkan oleh salah satu kepala desa, seorang wanita yang bertugas membujuk orang tua agar melepaskan gadis-gadis itu.

Para Muslimah itu kemudian dikeler oleh seorang wanita Uighur paruh baya bernama Tursungul Memtimin yang kerap dipanggil “guru”. Namun perangai guru yang satu ini berbeda: kerap menghina, berkata kasar, bahkan kadang-kadang memukul para pekerja dengan tongkat.

“Temperamennya dikenal sangat buruk. Dia berbicara bahasa China. Dia tidak mengajar di sekolah, tapi mengurus para pekerja di pabrik. Para pekerja itu hidup dalam ketakutan. Namun karena penjagaan amat ketat, tidak ada yang berani melarikan diri,” jelas kepala desa yang minta namanya tidak disebutkan.

Pabrik itu mempekerjakan belasan wanita berusia 30-an dan 40-an serta beberapa pria. Mereka harus tidur di asrama pabrik. Sebagian besar adalah orang Uighur, hanya sekitar 15 orang yang dari etnis lain.

Kerja Paksa

Meskipun keamanan pabrik itu amat ketat, ada saja pekerja yang bisa melarikan diri. Misalnya April (Ramadhan) lalu, empat gadis berhasil menyelinap keluar dari kompleks dan kembali ke desanya di Charibagh, daerah Yarkand.

Tursungul dan beberapa pejabat pabrik kemudian memburunya hingga ke desa. Gadis-gadis itu dibawa kembali ke pabrik secara paksa. Jika menolak, maka orang tuanya diancam akan dikirim ke kamp “pendidikan ulang”.

“Kami mengemasi barang-barangnya dan membawa mereka ke stasiun kereta. Orang tua mereka takut jika dikirim ke kamp, maka mereka terpaksa menyerahkan putrinya,” kata kepala desa.

“Begitu tiba di pabrik, gadis-gadis itu menjalani sanksi dan pendidikan,” ujar petugas keamanan pabrik yang tidak mau disebut namanya.

Pabrik Wanhe mempekerjakan penduduk yang sebagian besar berasal dari Maralbeksi (Bachu), di provinsi Kashgar. Daerah ini merupakan penghasil kapas terbesar di wilayah Turkistan Timur.

Menurut petugas keamanan pabrik, usia pekerja mulai dari 16 hingga 45 tahun. Mereka harus bekerja keras dari pukul 07.00 hingga 23.00 dalam tiga shift, istirahat hanya satu jam untuk makan siang dan makan malam.

Mereka dipaksa bekerja 14 jam sehari, tujuh hari seminggu, dan sering mengalami pelecehan verbal dan fisik.

Meskipun bekerja full time, upahnya hanya sekitar 300 yuan (USD 42 atau sekitar Rp 600.000), atau paling banter 400 yuan (USD 56 atau sekitar Rp 800.000) per bulan.

Banyak pekerja yang mengalami kelelahan fisik dan harus dirawat di rumah sakit. Dan begitu sembuh, mereka harus segera kembali bekerja.

Dikisahkan oleh kepala desa, pernah ada pekerja yang pingsan karena kelelahan dan harus opname di rumah sakit. Setelah sembuh, pekerja itu sebenarnya ingin rehat sejenak di rumahnya.

Namun Tursungul mengancamnya. Pekerja itupun dipaksa langsung kembali ke pabrik.

Perjanjian Rahasia

Menurut seorang pejabat desa yang tidak mau disebut namanya, “rekrutmen” pabrik di SMK 2 Yarkand dilakukan pertama kali pada Februari 2017. Saat itu ada 90 siswa berusia 15 hingga 18 tahun yang dibawa, berdasarkan sebuah perjanjian kontrak.

Para pekerja maupun keluarganya tidak mengetahui isi perjanjian kontrak itu. Yang jelas, perjanjian itu ditantangani oleh kepala sekolah.

Kepada RFA, seorang pejabat di Biro Pendidikan Kabupaten Yarkand menggambarkan isi kontrak sebagai “rahasia negara”.

“Saya tahu kontrak antara SMK dan pabrik pakaian Wanhe. Tapi itu dianggap sebagai rahasia negara, jadi kami tidak bisa mengatakannya,” kata pejabat yang meminta namanya tidak disebutkan itu.

Penjaga pabrik juga membenarkan tentang adanya kontrak rahasia itu, “Saya tidak bisa memberitahu Anda jika ada dalam kontrak bahwa para pekerja tidak dapat meninggalkan pabrik atas kemauan sendiri.”

Pabrik Wanhe didirikan di zona industri di Maralbeksi pada tahun 2014. Ini adalah salah satu dari ribuan perusahaan tekstil dan garmen di kawasan Turkistan Timur.

Rezim komunis China juga mendirikan sekolah kejuruan untuk melatih warga setempat dalam penggunaan mesin jahit dan peralatan lainnya.

Pada akhir 2020, kapasitas produksi tekstil di Turkistan Timur menyumbang 17,6% dari total kapasitas China. Industri ini mempekerjakan hampir 600.000 orang. Perusahaan tertarik berproduksi di sini karena upah tenaga kerjanya murah.*/Pambudi U

Powered by Blogger.
close