Pernikahan Beda Agama, Bagaimana Pandangan Islam?


Tugas negara dan hakim Muslim menurut Islam menjaga tegaknya hukum dan menjaga rakyat agar taat kepada Allah, memberi izin pernikahan beda agama adalah mengingkari tugas mulia 

Oleh: Setya Kurniawati

Via Hidayatullah.com | ISLAM merupakan agama sempurna yang memiliki aturan kehidupan, salah satunya mengenai pernikahan. Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang penting di kehidupan karena merupakan institusi terkecil dari peradaban Islam, melalui pernikahan akan terlahir generasi pemimpin umat penerus risalah Islam.

Syariat Islam mengatur seorang wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan pria non Muslim, musyrikin maupun ahli kitab. Sedangkan pria Muslim masih boleh menikah dengan wanita non Muslim asalkan dia dari ahli kitab.

Hal ini berdasarkan Ssurat Al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Maidah ayat 5. Dalam istilah fikih, orang musyrik adalah mereka yang menyembah Tuhan selain Allah. Sedangkan Ahli Kitab adalah sebutan bagi umat Yahudi dan Nasrani.

Namun faktanya, Indonesia yang notabene negara mayoritas penduduknya muslim justru pengadilan di beberapa daerah memperbolehkan menikah beda agama.

Contohnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seorang mempelai laki-laki beragama Kristen dan mempelai wanita yang beragama Islam diperbolehkan menikah dengan alasan keberagaman masyarakat.

Dalam pasal 35 huruf (a) UU 23/2006 tentang Adminduk diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Adapun dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antarumat berbeda agama.  

Adanya fakta bolehnya nikah beda agama (pria non -uslim dengan Muslimah) menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama Islam.  Padahal, negara seharusnya berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dalam ketaatan pada Allah Swt, apalagi Indonesia penduduknya mayoritas bergama Islam.

Namun pernikahan beda agama dapat terjalankan menjadi suatu keniscayaan dalam negara yang mengusung sekularisme yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme akan menciptakan liberalisme, sebuah paham kebebasan yang menyingkirkan fungsi agama sebagai pedoman hidup manusia.

Alhasil individu masyarakat merasa bebas melakukan apa pun sesuai keinginannya. Tidak peduli menabrak syariat atau tidak, selama ia merasa puas dan senang, mengejar hawa nafsu dan syahwat pun dianggap sah-sah saja.

Sekularisme menjadikan pernikahan sekadar mengejar hawa nafsunya, misalnya menikah untuk mengejar harta, cinta, ataupun kedudukan. Padahal pernikahan pada hakikatnya adalah ibadah.

Jika karena agama, tidak akan mungkin ia memilih pasangan hidupnya seorang non-Muslim yang tidak membawanya pada keberkahan dunia akhirat.

Padahal dengan menikah akan bangkit hukum-hukum lainnya, seperti hadanah (pengasuhan), birrul walidain (berbakti pada orang tua), kewajiban suami istri, hukum waris, dll. Seseorang yang menikah karena agama akan mencari pahala dengan mengoptimalkan berbagai kewajiban yang datang padanya.

Menikah membutuhkan persiapan yang matang, misalnya kematangan mental, finansial, ilmu dan iman yang kuat masing-masing pasangan. Sehingga kesamaan akidah seharusnya menjadi hal mutlak bagi pasangan yang akan menikah agar terbangun visi-misi dalam membangun rumah tangga.

Islam melarang tegas nikah beda agama. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, nikah beda agama jelas bertentangan dengan nas atau dalil Al-Qur’an maupun Hadis. Salah satunya QS Al-Baqarah: 221 yang dilatarbelakangi dari sebuah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Hatim.

Ibnu Al-Mundzir dari Muqatil bin Hayyan berkata, “Ayat ini turun terkait dengan cerita Martsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah ï·º untuk menikahi seorang perempuan musyrik yang mempunyai strata sosial yang bagus pada kabilahnya bernama ‘Anaq. Martsad berkata, ‘”‘Ya Rasulullah, sungguh aku tertarik (untuk menikahi) perempuan ‘Anaq itu.’”‘ Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat Martsad al-Ghanawi.

Kedua, nikah beda agama tidak sesuai dengan tujuan ditetapkannya syariat Islam (maqashid asy-syariah). Sebagaimana diketahui, tujuan maqashid syariah meliputi lima hal, yakni penjagaan terhadap agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal.

Inilah buah dari hilangnya “perisai” umat, yaitu negara yang menjaga kaum muslim dengan menerapkan hukum Allah Swt. Benteng keluarga hingga shalat pun bisa terancam di dalam sistem sekulisme-liberal.

Rasulullah ï·º bersabda, yang artinya; “Sungguh, ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai, maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah shalat.”

Sehingga negara menurut Islam (termasuk hakim muslim) memiliki tugas yang penting dalam menjaga tegaknya hukum dan menjaga rakyatnya agar tetap dalam ketaatan kepada Allah. Salah satunya dengan pelarangan pernikahan beda agama.*

 Aktivis dakwah

Powered by Blogger.
close