Titik! Tak Ada Lagi Pencatatan Perkawinan Beda Agama

Oleh : Imam Nawawi

ISU
 perkawinan (pernikahan) beda agama usai sudah. Titik! Tak ada lagi pencatatan perkawinan agama. 
Hal itu seiring dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/2023 tentang ‘Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.’

Hal itu tentu melegakan umat beragama di Indonesia. Meski begitu tetap ada pihak yang tidak puas dan “menuding” MA telah melakukan tindakan diskriminatif. Tapi apa benar seperti itu?

Ustadz Adi Hidayat

Nikah beda agama bukan hal baru, bahkan merupakan problem sosial pada era dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Demikian seperti ulasan UAH dalam Channel Adi Hidayat Official. Dalam Islam soal nikah sangat terang dan jelas, harus seiman. Bahkan dalam Alquran ada penjelasan bahwa lelaki yang biasa saja bukan dari kalangan istimewa, tetapi beriman, itu lebih baik daripada yang kufur atau musyrik.

Jadi, ada larangan terang menikahkan anak-anak orang Islam dengan siapapun yang tidak seiman. “Berpalinglah kepada ketetapan Allah yang lebih mengarahkan kepada nilai kemuliaan. (Kepada) nilai-nilai kebahagiaan. Dan, demikian Allah menjelaskan kepada kalian ketentuannya supaya kalian mengerti dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT,” tegas UAH.

Hal ini tidak lain karena tujuan berumah tangga dalam Islam adalah meningkatkan amal sholeh, semakin dekat kepada Allah. Situasi itu sulit tercipta kalau menikah beda agama. Apa mungkin bisa sakinah, mawaddah wa rahmah. Bahkan problem panjang akan muncul. Misalnya, anak lahir, katakan istrinya Islam, suaminya non-Muslim. Apakah ketika anak lahir, telinganya boleh mendengarkan adzan dari suami yang non Islam.

Kemudian mau dibawa kemana keyakinan sang anak. Jelas ini soal tidak mudah. Dan, tidak perlu terjadi kalau menikah dengan yang satu keyakinan.

Tidak Bisa Dibenarkan

Kalau kita perhatikan pihak yang tidak puas dan “menuding” MA diskriminatif serta mundur, mereka tidak menyertakan argumentasi yang jelas, selain daripada soal HAM belaka. Kalau kata “kebebasan” menjadi alat untuk memandang negatif SEMA itu, apa sebenarnya arti dari “kebebasan” itu. Siapa yang punya otoritas memberi makna tunggal, sebagaimana mau dari para penolak SEMA itu sendiri?

Apakah seseorang harus terus mendapat pengakuan “kebebasan” walaupun menabrak norma moral, adat, dan bahkan agama? Sejak kapan “kebebasan” menjadi seperti (sebut saja) Ambulan yang boleh menerobos lampu merah. Apa daruratnya, kemana menuju dan siapa yang ada dalam muatan kata “kebebasan” itu?

Bahwa Indonesia terdiri dari banyak agama, itu benar dan fakta. Tetapi apakah banyak agama jadi basis berpikir bahwa nikah beda agama itu boleh dan negara harus menyetujui, dari mana logikanya? Lebih jauh, kita bisa pertanyakan, apa manfaat bagi kehidupan sosial di negeri ini ketika nikah agama diakui oleh negara?

Jadi, nalar kritis harus kita bangun kembali, terutama terhadap segala bangunan ide yang hanya mengandalkan kata “kebebasan” kemudian “hak” tetapi lupa akan aspek lain yang sebenarnya telah mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

*) Mas Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah 2020-2023 dan kini bergiat di lembaga pengembangan pemuda Progressive Studies and Empowerment Center (Prospect)
Sumber www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close