Inilah Empat Jalan Melebur Dosa


Oleh : Ust. M. Alimin Mukhtar

RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap manusia itu banyak berbuat dosa/salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah/berdosa adalah yang mau bertaubat.” (Hadits hasan. Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Darimi; dari Anas bin Malik).

Apabila dosa-dosa pasti pernah menodai diri kita, dan ia merupakan kemestian yang tidak bisa dihindari secara mutlak, sementara kita harus kembali kepada Allah dengan selamat, maka tidak ada cara lain kecuali terus-menerus membersihkan diri.

Pertanyaannya adalah: bagaimana cara melakukannya?

Sebenarnya, di dunia ini dosa-dosa manusia bisa dihapuskan melalui beberapa cara. Setelah melakukan penelusuran terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits, penyusun Mawsu’ah Fiqh Al-Qulub menyatakan bahwa paling tidak Allah telah menyediakan empat cara untuk melebur dosa dan menghapuskannya, yaitu: bertaubat dengan sungguh-sungguh, banyak beristighfar, banyak melakukan amal shalih yang bisa melebur dosa, dan bersabar atas musibah-musibah.

Maka, seorang muslim yang ingin dibersihkan hidupnya oleh Allah hendaknya menekuni jalan-jalan ini. Mari kita mengkajinya satu per satu; semoga kita diberi taufik untuk mengamalkannya.

Cara pertama adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Hal ini diisyaratkan Al-Qur’an dalam surah At-Tahrim ayat 8:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Bertaubat adalah ajakan universal setiap Nabi yang diutus oleh Allah. Di masa silam, Nabi Nuh ‘alaihis salam pernah berseru kepada kaumnya, “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” (QS. Nuh: 10). Seruan senada juga dikumandangkan oleh Nabi Muhammad, Hud, Shalih, dan Syu’aib ‘alaihimus salam, kepada kaum mereka masing-masing (lihat: Qs. Hud: 3, 52, 61, 90).

Pada dasarnya, taubat adalah usaha untuk kembali ke jalan yang lurus, dengan memperbaharui komitmen dan amal perbuatan. Oleh karenanya, para ulama’ menegaskan 3 syarat utama taubat, yaitu berhenti dari dosa yang diperbuat, menyesali dosa yang telah dilakukan, dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi.

Sebagian ulama’ menambahkan dua syarat lainnya, yaitu ikhlas karena Allah dan dilakukan sebelum waktu tertolaknya taubat. Keikhlasan dalam taubat itu sangat penting, walaupun ia juga diperlukan dalam setiap amal yang lain. Misalnya, ada perokok berat yang jatuh sakit, lalu bertaubat dari rokok karena penyakitnya dan larangan dokter, bukan karena Allah dan keinginan untuk menaati-Nya. Atau, seseorang berhenti melakukan suatu dosa karena motivasi duniawi, misalnya pekerjaan, atasan, istri, kesehatan, dll. Tindakan seperti ini tidak bisa dianggap taubat yang sesungguhnya.

Cara kedua adalah banyak beristighfar. Rasulullah sendiri mencontohkan hal ini, sebagaimana yang beliau ceritakan dalam sabdanya: “Sungguh hatiku pun terkadang ditutupi oleh kekhilafan, dan sungguh aku mohon ampun kepada Allah 100 kali dalam sehari.” (Riwayat Muslim dan Abu Dawud, dari al-Agharr al-Muzani).

Terkait hadits ini, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Arna’uth menyatakan bahwa maksudnya adalah hati Rasulullah juga diselimuti oleh sifat khilaf sebagaimana umumnya manusia. Karena hati beliau selalu sibuk berdzikir, maka bila sekali waktu terbetik sesuatu hal yang sebenarnya normal bagi manusia biasa, lalu beliau sedikit lupa memikirkan umat dan agama, hal itu sudah dianggap sebagai dosa dan kesalahan.

Maka, beliau segera beristighfar. Bisa juga, makna hadits ini adalah beliau selalu menunjukkan status kehambaan, merasa butuh kepada Allah, senantiasa khusyu’, dan bersyukur atas segala karunia Allah, sebab rasa takut para Nabi dan malaikat adalah takut yang merupakan ekspresi penghormatan. Wallahu a’lam.

Cara ketiga adalah banyak melakukan amal shalih yang bisa melebur dosa. Abu Dzarr menceritakan sabda Nabi, sbb: “Bertakwalah kepada Allah dimana/bagaimana pun engkau berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya bisa menghapus (dosa)nya, dan berakhlaklah kepada sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (Riwayat Tirmidzi. Hadits hasan-shahih).

Hadits ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Qs. Hud: 114).

Cara keempat adalah bersabar atas musibah-musibah. Rasulullah pernah bersabda, “Tidaklah suatu kelelahan, rasa sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, maupun kecemasan yang menimpa seorang muslim, bahkan sebatang duri yang menusuknya, melainkan dengan itu Allah pasti menghapuskan sebagian dari dosa-dosanya.” (Riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah).

Dalam hadits lain, beliau bersabda, “Bencana (al-bala’) senantiasa menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik dalam dirinya, anaknya, maupun hartanya, hingga kelak dia berjumpa dengan Allah sedangkan dia tidak memiliki satu dosa pun.” (Riwayat Tirmidzi, dari Abu Hurairah. Hadits hasan-shahih).

Maka, bersabarlah terhadap musibah-musibah yang menimpa, karena di baliknya telah tersaji balasan yang melimpah.

Akhirnya, mari berdoa semoga kita diberi taufik oleh Allah menuju jalan penyucian dosa-dosa sepenuhnya. Amin. Wallahu a’lam.

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Malang
Sumber www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close