Inspirasi Merdeka dalam Wahyu Pertama

Oleh : Fuad Fakhruddin, M.Pd.I.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” 
(Terjemah Q.S. Al-‘Alaq: 1-5)  

Wahyu pertama ini menyampaikan beberapa pesan. Pertama, semua insan diciptakan oleh Allah ta’ala. Tidak ada pencipta selain Dia. Kedua, semua insan diciptakan melalui proses yang sama, salah satunya bentukan segumpal darah, kecuali Nabi Adam dan Nabi Isa ‘alaihimassalam. Ketiga, Allah ta’ala memiliki kuasa dan kehendak dalam setiap proses penciptaan manusia. Dialah yang menentukan jenis kelamin janin. Atas ketetapan-Nya juga, apakah janin akan bertahan ataukah gugur. Manusia hanyalah berusaha.

Keempat, Allah ta’ala Maha Mulia, Maha Pemurah. Kemuliaan dan kemurahan-Nya tidak tertandingi. Manusia hanyalah makhluk lemah, butuh kemurahan-Nya. Tanpa kemurahan-Nya, manusia tidak berarti apa-apa. Kelima, salah satu wujud kemuliaan dan kemurahan-Nya, Allah ta’ala mengajari manusia. Pena medianya. Tulis-menulis dan pemikiran berkemajuan adalah orientasinya. Sehingga manusia menjadi makhluk yang berkembang, dari tidak tahu menjadi tahu, dari hina menjadi mulia.

Kelima pesan ini kemudian memberikan inspirasi bagi sebagian manusia di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pencerahan bagi pikiran. Ada getaran bagi perasaan. Ada dorongan bagi jiwa.

Dari kelima pesan ini ada keinginan besar untuk menggapai perbaikan besar, sesuatu yang hampir punah bahkan lama punah. Salah satunya adalah kesetaraan manusia. Bahwa manusia satu dengan lainnya tidak lebih mulia karena nasab atau warna kulit. Manusia lebih mulia karena ia peduli kepada sesama, sebagaimana Allah ta’ala sangat peduli kepada seluruh hamba.

Tidak boleh lagi ada penindasan sesama manusia. Begitu pula tidak boleh ada penjajahan. Yang boleh bahkan wajib adalah kerjasama yang setara, saling menghormati, saling menguntungkan.

Tulis-menulis menguatkan kesetaraan tersebut. Selain berhak belajar, setiap orang berhak mencatatkan hasil belajarnya. Setiap orang juga berhak bertransaksi dan mencatatkan transaksinya; juga kesepakatan-kesepakatan. Puncaknya, dalam suatu masyarakat, diperlukan pengaturan tertulis yang mengikat seluruh anggota masyarakat.  

Maka, setelah ayat ini turun, orang-orang beriman dari kalangan budak mulai menegakkan kepalanya. Benih merdeka dari perbudakan mulai tumbuh. Sementara itu orang-orang beriman dari kalangan bukan budak memiliki cara pandang baru tentang hubungan antarmanusia. Bahwa kekuasaan dan kekayaan bukanlah legitimasi untuk menindas. Bahkan sumber daya yang ada merupakan sarana untuk menyebarkan kebaikan antarsesama manusia.

Inspirasi ini terus dipupuk, kemudian menjadi pondasi peradaban Islam. Dan dalam perjalanan sejarah, pondasi ini terbukti kokoh dalam menciptakan tatanan dunia yang damai dan mensejahterakan. Ke depan, semoga pondasi ini kembali dikokohkan pemiliknya, untuk dapat dipersembahkan sekali lagi kepada dunia. Hingga dunia yang kini merana dapat berselimutkan bahagia.

Wallahu a’lam. 
Fuad Fakhruddin, M.Pd.I., Sekjen DPW Hidayatullah DIY Jatengbagsel. Pendidik dan Penulis Buku Ajar, Kemendikbud
Powered by Blogger.
close