Meraih Kebangkitan Hidup yang Hakiki
Untuk memenuhi hajatul ‘udhwiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri) dan penjagaan akalnya manusia perlu aturan Sang Khaliq, bukan hidup secara liar.
Dikutip dari Hidayatullah.com | SECARA fitrah manusia tak membiarkan dirinya dari waktu ke waktu dalam kondisi statis. Apalagi berkubang dalam kondisi tak ideal versi kacamatanya.
Mengapa? karena manusia dianugerahi akal untuk berpikir melakukan perubahan menuju kondisi ideal. Haruslah dipahami, jika manusia hanya diam dengan ke’tidakidealan’nya, dapat dikatakan akalnya ‘mati’.
Lantas bagaimanakah kondisi ideal yang hakiki? Apabila jawabannya diserahkan pada manusia tentu saja menghasilkan sejuta jawaban tak berstandarisasi.
Karena setiap akal manusia akan memiliki pemahaman yang berbeda sesuai maklumat (informasi) yang dimilikinya. Artinya secara mutlak standarisasi ini haruslah diserahkan pada Penganugrah akal bagi manusia yaitu Sang Khaliq.
Kondisi ideal hakiki maksudnya manusia dalam memenuhi hajatul ‘udhwiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri) serta penjagaan akalnya dengan aturan Sang Khaliq. Bukan dengan tanpa aturan atau sembarang aturan.
Sehingga pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut tak terjatuh seperti hewan lakukan. Karena Sang Khaliq telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya ciptaan. Tak layak manusia menghinakan dirinya layaknya hewan.
Terjadinya perubahan menuju kondisi ideal hakiki menunjukkan kebangkitan pada manusia. Kebangkitan ini bergantung pada standar nilai kualitas manusia secara hakiki.
Standar ini bukan pada tampilan fisik, harta atau jabatan. Tapi pada tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh pemikirannya.
Terutama pemikiran terkait uqdatul kubra (persoalan paling mendasar) dalam hidupnya. Yaitu dari mana dirinya berasal, untuk apa dirinya hidup di dunia serta apa yang terjadi setelah kematiannya.
Meraih Kebenaran Mutlak
Persoalan mendasar tersebut membutuhkan jawaban shahih (benar) yang akan menentukan jalan hidupnya. Jawaban shahih hanya didapatkan dengan berpikir mustanir (cemerlang).
Yaitu berpikir mendalam dengan mengaitkan fakta yang saling berkaitan hingga sampai pada kesimpulan yang benar.
Berpikir cemerlang mengaktifkan penglihatan, pendengaran dan indra lainnya untuk menelaah dan mengamati diri, alam sekitar dan kehidupan. Keajaiban pada manusia dan alam sekitar menunjukkan realitasnya yang terbatas, lemah, kurang dan membutuhkan selain dirinya.
Realitas ini bukti kuat bahwa manusia beserta alam sekitar adalah makhluk (sesuatu yang diciptakan) dan kepastian adanya Al Khaliq (Sang Pencipta).
Secara rasionalitas, mustahil Al Khaliq sama dengan makhluk. Artinya Al Khaliq bukanlah patung, manusia, hewan, tumbuhan, bintang, bulan atau apapun dari makhlukNya.
Tak layak manusia menyembah dan mentaqdiskan (mensucikan) sesama makhluk. Karena hal tersebut adalah kesesatan yang nyata.
Mustahil juga Al Khaliq berbilang. Karena manusia dan alam semesta beserta isinya akan hancur dengan berbilangnya Al Khaliq.
Kepastian tanpa keraguan Al Khaliq adalah satu, yang keberadaannya tak membutuhkan makhlukNya. Dia adalah Allah SWT. Maha benar Allah dalam firmanNya :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas ayat 1-4).
لَوْ كَانَ فِيهِمَآ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS: Al Anbiya ayat 22).
Hidup Berselimut Ibadah
Hanya dengan bukti secuil di atas dapat menjadi dalil bahwa manusia hakikatnya ciptaan Allah SWT. Diciptakannya manusia hidup di dunia pun bukan tanpa tujuan. Tapi memiliki misi yang agung. Allah SWT berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.’ (QS: Adz Zariyat ayat 56).
Para mufasir menjelaskan makna beribadah adalah taat pada Allah, tunduk patuh padaNya dan terikat pada syari’atNya. Baik syari’at Allah terkait hablumminallah (shalat, puasa, haji, zakat, dan sebagainya), hablum bin nafs (makanan, minuman dan pakaian) serta hablumminannas (politik, pendidikan, ekonomi, pergaulan, sosial, budaya, hukum dan sebagainya).
Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS: Al-Baqarah: 208).
Allah SWT pun menyampaikan dalam ayat-ayatNya yang mulia bahwa kepastian manusia akan merasakan mati. Kematian bukanlah akhir segalanya tapi awal kehidupan yang sebenarnya.
Dalam hari-harinya ada pertanggungjawaban setiap amal. Yang akan bersaksi atas amal manusia bukan hanya lisannya tapi hampir seluruh anggota tubuhnya.
Tak ada manusia yang dapat berdusta di dalam pengadilan Allah. Seberat dzarrah pun kebaikan atau keburukan amal akan dibalas secara sempurna.
Keadilan akan ditegakkan di mahkamah Allah. Dengan itu ditentukan tempat akhir kembalinya manusia di akhirat.
Apakah dirinya termasuk ashhabul yamin (penghuni syurga) ataukah ashhabussyimal (penghuni neraka). Allah SWT berfirman :
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (QS: Al-Baqarah: 281).
Dengan jawaban yang shahih dari uqdatul kubra, manusia memiliki sandaran hidup yang jelas dan terarah. Aqliyah (proses berpikir) dan nafsiyah (pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri) nya akan berjalan sesuai dengan syari’at Islam.
Karena azzam (tekad) yang kuat dirinya ingin berpulang dalam naungan rahmat dan ridhaNya. Inilah kebangkitan hakiki manusia dengan panduan RabbNya. Wallahu a’lam bish-shawabi.*/ Desti Ritdamaya, praktisi pendidikan
Post a Comment