Mulianya Wanita dalam Naungan Islam


Sejak awal bentuk wanita dan pria saja sudah menunjukkan perbedaan, sehingga kemudian ada beban hamil, melahirkan, menyusui diberikan pada wanita, meski demikian Islam sangat memuliakan wanita

Dikutip dari Hidayatullah.com | WANITA mempunyai kedudukan yang sama dengan pria, yaitu sebagai hamba Allah SWT, bahkan wanita dimuliakan oleh Islam. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan lainnya hanyalah ketaqwaannya.

Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh wanita atau pria, akan mendapat pahala yang sama, demikian juga dengan dosa. Oleh karena itu, baik pria dan wanita bebas berlomba-lomba dalam kebaikan.

Bagik wanita atau pria memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran. Adakalanya Islam membedakan peran wanita dengan pria berkaitan dengan sifat kodrati masing-masing.

Maksudnya, adalah satu kenyataan bahwa ketika manusia diciptakan oleh Allah ada yang berbentuk wanita dan pria. Masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.

Perbedaan ini tentu bukan tanpa makna. Pastilah ada tugas-tugas tertentu yang akan diberikan oleh Allah kepada makhluk yang bernama wanita dan juga pria.

Salah satunya wanita sebagai ibu yang melahirkan generasi sementara pria sebagai pemimpin dan pelindung keluarga itu sendiri. Peran sebagai ibu dijalankan sejak wanita hamil, melahirkan, menyusui, hingga masa pengasuhan dan pendidikan anak tidak bisa digantikan pria.

Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana kepribadian anak yang kelak terbentuk ketika dewasa, itulah hasil karya ibu, dan berkat keuletan dan ketulusan ibu jualah bermunculan generasi-generasi berkualitas dan bermanfaat bagi bangsa dan agama.

Wanita juga punya tanggung jawab untuk memanage rumah tangga agar dalam suasana menyenangkan sebagai tempat peristirahatan yang nyaman bagi semua anggota keluarga. Ringankah tanggung jawab ini?

Tidak, amanah ini memang tidak ringan, namun sangat mulia dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.“ (HR: Bukhari)

Karenanya Allah membebankan tugas kepemimpinan, pencarian nafkah dan perlindungan kepada pria. Dari sini terlihat, perbedaan peran wanita dan pria dalam keluarga tidak bisa dianggap sebagai bentuk penindasan atas kaum perempuan sebagaimana anggapan kaum feminis.

Jika ada anggapan seperti itu, maka pria pun bisa protes, “Kenapa saya harus memberi nafkah? Saya yang capek bekerja, membanting tulang siang-malam, berarti apa yang saya dapat adalah milik saya dan saya bebas menggunakannya sesuai keinginan saya.”

Apabila ini terjadi, maka hancurlah bangunan keluarga. Karena itu  gagasan yang diusung para feminis (konsep dari Barat), yakni menghendaki agar kaum wanita sama dengan pria (gender equality).

Bahasa mereja wanita harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama. Beban itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak, dan mengatur urusan rumah tangga.

Lalu berbondong-bondonglah kaum wanita meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan pria. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, eksploitasi habis-habisan atas diri merekalah yang terjadi.

Mereka terjebak menjadi obyek eksploitasi sistem kapitalis yang memandang materi adalah segalanya. Para wanita ini, sadar dan tidak, menjadi ujung tombak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Model, sales promotion girl, bintang iklan hingga profesi sebagai pelobi hampir selalu disodorkan pada kaum wanita.

Munculnya gerakan chilfree, enggan menikah dan enggan punya anak marak. Mereka sibuk di ruang public dan menjadi umpan dan bahkan sekedar “gula-gula” dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh wanita dijadikan komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi.

Aurat wanita dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan hoki. Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum wanita antre minta di eksploitasi, bahkan semakin hari kian menggila.

Hari bisa kita lihat di Negara-negara Barat, Jepang, Korea, China, mereka bingung angka kelahiran. Banyak anak-anak gadis enggan menikah –apalagi sampai punya anak—ditambah mereka sendiri membolehkan LGBT, mungkin sebentar lagi mereka akan kehilangan generasi.

Islam Memanjakan Wanita

Islam sebagai “aturan main” kehidupan telah mengatur aktifitas wanita dan pria dalam menjalani kehidupan. Yang perlu dipahami adalah adakalanya aturan itu sama, namun adakalanya pula berbeda.

Aturan yang sama diperintahkan oleh Allah dalam hal ibadah (seperti sholat, zakat, puasa, haji), berdakwah amar ma’ruf nahi munkar, shadaqah,menuntut ilmu, yang kesemuanya itu tidak ada perbedaan baik wanita maupun pria. Ada aturan Allah yang berbeda ketika secara fitrah yang memang berbeda.

Sejak awal bentuk wanita dan pria saja sudah menunjukkan perbedaan itu, sehingga kemudian beban hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak diberikan pada wanita namun tidak pada pria.

Hanya saja, persamaan dan perbedaan ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat, yaitu kebahagiaan hakiki di bawah keridhaan Allah SWT.

Salah satu inti perbaikan generasi yang lebih utama jika kaum wanita berada di rumah (kecuali ada alasan penting mengharuskan mereka keluar rumah).

 عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جِئْنَ النِّسَاءُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِالْفَضْلِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى، فَمَا لَنَا عَمَلٌ نُدْرِكُ بِهِ عَمَلَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ قَعَدَ -أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا -مِنْكُنَّ فِي بَيْتِهَا فَإِنَّهَا تُدْرِكُ عَمَلَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ”.

“Anas bin Malik bercerita bahwa kaum wanita mendatangi Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki memiliki keutamaan dengan jihad fisabilillah, lalu bagaimana kami mendapatkan nilai jihad fisabilillah?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa di antara kalian yang berdiam di rumahnya – atau yang seperti itu- maka itu setara dengan amalnya para mujahidin fisabilillah.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/409).

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama.” (QS: Al Ahzab: 33).

Pada dasarnya, Islam telah memberikan keistimewaan kepada para istri untuk tetap berada di rumahnya. Tetesan keringat mereka di dapur dinilai sama dengan darah mujahid di medan perang. Begitulah Islam memuliakan kedudukan wanita.

Konsep inilah yang tidak dimiliki agama apapun di dunia, apalagi ideologi yang dikembangkan Barat dan kaum feminis. Karena itulah mereka berusaha menjungkirbalikkan konsep mulia ini.

Namun ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa tidak berarti para wanita hanya mencukupkan diri saja di rumah tanpa peduli dengan kondisi sekitar. Ketika ia mendapati kondisi masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam, maka ia harus tampil untuk ikut berdakwah melakukan perubahan di masyarakat dengan tetap melaksanakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Tidak kemudian keluarnya wanita adalah memburu status atau materi yang banyak seperti yang berkembang akhir-akhir ini.Saat ini semua orang merasakan kehidupan ekonomi yang sulit.

Kesejahteraan wanita tidak harus direalisasikan oleh wanita sendiri, pria pun bisa merealisasikannya. Karena pada dasarnya merumuskan kebijakan yang benar tidak terkait dengan jenis kelamin, namun tergantung pada pola pikir apa yang dimiliki ketika hendak memutuskan sesuatu, apakah dengan ukuran kapitalis, sosialis atau Islam.

Mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat secara umum berarti juga mewujudkan kesejahteraan bagi wanita. Perjuangan wanita idealnya diarahkan pada perjuangan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara umum, bukan pada wanita saja.

Islam tidak melarang wanita cerdas dalam politik, hukum, ekonomi dan ilmu pengetahuan lain.  Dengan kata lain, permasalahan kaum wanita –bahkan permasalahan seluruh manusia– hanya bisa dipecahkan dengan sebuah aturan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia.

Dan ini bukan buatan manusia, melainkan buatan Sang Pencipta yang telah menciptakan manusia, alam, dan kehidupan ini. Aturan itu adalah Islam. Wallahu a’lam.*/Ekasari Farhani

Powered by Blogger.
close