[Novel Sang Pangeran Cinta] Bab 2 : Bekerja Serabutan Demi Menghidupi Diri dan Bayar Kuliah


Oleh Tuswan Reksameja

Baca Bab 1 : Kami Mengambil Semua Resiko Itu

Nama perempuan yang diusur oleh Pak Broto adalah Dinda, anak Pak Broto sendiri. Walau anak semata wayang Pak Broto, tapi karena sudah lancang melawan Pak Broto, maka mau tidak mau dia harus henkang pergi dari rumah besarnya.

“Pak, apa tidak bisa dibatalkan keputusan mengusir Dinda?” pinta Bu Broto, Wanita yang terlihat masih cantik diusia yang memasuki kepala empat waktu itu. “Kasihan Dinda, Pak. Dia anak kita satu-satunya.” Rengek Bu Broto.

Pak Broto hanya mematung, walau terlihat sedikit keraguan, namun keputusan yang diambil nya untuk mengusir anaknya, Dinda sudah bulat. Ia tidak mau ada penghalang dalam merintangi bisnis yang dia jalankan.

Terlihat Bu Broto meneteskan air mata Ketika Dinda diusir dari rumah tanpa membawa uang sepeserpun yang diberikan Pak Broto. Bahkwan, uang yang diberikan Bu Broto kepada anak gadisnya waktu itu langsung direbut oleh Pak Broto dengan kasar.

“Tidak usah diberi uang. Ini uang haram.” Ketus Pak Broto Ketika melihat istrinya mengulurkan sejumlah uang yang disodorkan ke Dinda anaknya.

Bu Broto meneteskan air mata melihat anaknya pergi meninggalkan keluarganya. Ia hanya bisa berdoa dan berharap, kelak suatu Ketika bisa bertemu dengan anaknya yang sangat dia cintai. Sementara, Pak Broto tidak memperdulikan kesedihan istrinya.

“Buktikan, berapa hari dia akan bertahan tanpa bantuan dari orang tuanya.” Gumam Pak Broto.

Langit begitu hitam, ketika Dinda berjalan sempoyongan karena menahan lapar. Sudah beberapa hari dia pindah tempat dari kos teman ke teman yang lain. Terkadang diberi makan oleh teman-teman kosnya.

Namun, lama-lama Dinda malu jika setiap hari harus merepotkan teman-temannya. Teman-teman kuliahnya tidak bisa membantu banyak dengan kondisi mereka masing-masing, karena sama-sama menjadi anak Rantau yang sedang menjalankan kuliah.

Dinda berjalan tiada arah, tujuannya hanya satu, dia akan mencari pekerjaan, apapun itu untuk menyambung hidupnya dan tentu saja meneruskan kuliahnya. HIngga akhirnya Dinda jatuh pingsan di pinggir jalan karena Lelah berjalan dan tidak kuat menahan lapar.

****

Seorang pemuda penjual mie ayam lewat dan mendapati seorang gadis pingsan di pinggir jalan. Banyak orang lalu Lalang tapi tidak ada satupun yang berani mendepat apalagi menolong gadis malang itu. Hingga akhirnya sang pemuda tersebut mendekati gadis yang pingsan dan sedikit mengecek nafasnya.

“Masih bernafas.” Gumamnya.

Akhirnya si pemuda penjual mie ayam mengoleskan minyak kayu putih ke bawah hidung gadis tersebut. Ketika gadis tersebut tersadar dia bingung karena di dekat dia ada seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

“Kamu siapa?” tanya gadis malang tersebut.

“Saya Bahri.” Jawab lelaki muda dan tampan itu. “Saya dapati kamu pingsan di pinggir jalan, sehingga saya tolong kamu.” Lanjut Bahri.

“Kepala saya pusing sekali.” Kata gadis tersebut.

“Saya bikinkan minum hangat dan mie ayam ya. Tunggu sebentar.” Kata pemuda tersebut cekatan.

Dinda melihat pemuda tersebut, dia begitu tulus menolongnya, walau dia tidak mnegenali saya sedikitpun. Itu terlihat dari gerak tubuhnya.

“Ini diminum teh hangatnya!” Sodor pemuda tersebut meletakkan segelas teh hangat di samping gadis tersebut. “Oh iya, saya Bahri.” Kata nya sambil menyodorkan tangannya mengajak salaman.

“Saya Adinda Kirana, panggil saja Dinda.” Kata gadis tersebut namun tidak menyambut uluran tangan pemuda penjual mie ayam tersebut.

Dinda menyeruput teh panas pemberian Bahri. Terasa hangat kerongkongan dan perutnya setelah dimasuki teh pemberian Bahri.

“Terimakasih sudah menolong saya.” Kata Dinda. “Padahal kamu tidak mengenal siapa saya.” Lanjutnya.

“Iya, tidak apa-apa. Sudah menjadi kewajiban manusia untuk tolong menolong.” Kata Bahri sambil membawa semangkok mie ayam panas dan disodorkan ke Adinda Kirana.

“Kenapa kamu bisa pingsan?” Tanya pemuda penjual mie ayam tersebut kepada Dinda yang akan menyantap mie ayam pemberiannya.

“Saya sedikit pusing, mungkin karena perut kosong sejak kemarin.” Jawab Dinda sambil menyuap mie dengan sumpit.

“Maaf, jika saya lancang membantu Mbak Dinda dengan memberi minyak kayu putih ke hidup mbak.” Kata Bahri sambil melayani pembeli yang lain di jalan itu.

Gadis muda itu terlihat lahap menikmati mie ayam buatan Bahri. Perut yang semula keroncongan kini sudah terisi dengan semangkok mie ayam dan segelas teh panas bikinan Bahri.

“Sebenarnya saya sedang butuh pekerjaan.” Kata Dinda, berusaha menyampaikan ke Bahri.

“Kamu masih muda dan mohon maaf, terlihat cantik. Saya rasa sangat mudah mencari pekerjaan.” Kata Bahri malu-malu.

Adinda Kirana memang mahasiswi cantik dan baik. Dia memang baru saja hijrah. Kehidupannya sejak SMA dipenuhi dengan hura-hura menghaburkan uang pemberian ayahnya yang seorang pengusaha. Gadis ini dulu tidak pernah kekurangan uang sedikitpun. Ayahnya benar-benar memberikan segala kebutuhannya, memberi fasilitas kendaraan roda empat, hingga semua barang-barang yang dipakai oleh Dinda waktu itu serba branded, bermerek.

Namun sejak kuliah semester 5, dia menemukan titik jenuh dengan kehidupan yang dia jalani. Terkadang merokok, nongkrong, bahkan minum alcohol dia lakukan Bersama gang cewek di kampusnya.

Ketika titik jenuh itu menghampiri Dinda, dia mencoba mendekati masjid kampus, terasa damai Ketika dia berada di masjid, hingga akhirnya dia sering ke masjid kampus. Lama kelamaan, anak-anak akhwat masjid mendekatinya.

Waktu itu Dinda belum berhijab. Tapi karena sering ke masjid dan Bersama dengan para akhwat di masjid kampus, dia akhirnya memutuskan memakai hijab yang pada akhirnya Dinda ditinggalkan oleh genk lamanya, genk yang biasa nongkrong Bersama dia. Dinda tahu resikonya Ketika dia memutuskan berhijab. Di antaranya adalah ditinggalkan oleh teman-teman genk nya. Namun, Dinda kini mendapatkan hati yang tenang, tentram, dan Bahagia Ketika memutuskan berhijab dan bergaul Bersama aktivis masjid di kampusnya.

“Mau nambah lagi nggak?” Tanya Bahri.

“Tidak, sudah kenyang.” Jawab Dinda.

“Selanjutnya kamu mau kemana?” Tanya Bahri.
“Entahlah, saya tidak punya uang sepeserpun dan tidak punya tempat tinggal.” Jawabnya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kami sementara tinggal di gubuk saya dulu, kebetulan tidak jauh dari sini.” Tawar Bahri ke Dinda.

“Tidak perlu, nanti merepotkan kamu.” Jawab Dinda, sambil berpikir saya nanti makan apa dan tinggal di mana. “Biar saya cari pekerjaan yang lain saja.

“Di rumah saya tinggal Bersama nenek saya kok, tidak sendirian. Nanti kamu bisa tidak sekamar dengan nenek.” Kata Bahri menawarkan ke Dinda, karena memang terlihat bingung. “Mungkin untuk sementara saja, nanti kalau kamu sudah menemukan pekerjaan yang layak bisa tinggal di tempat lain.” Lanjut Bahri.

Bahri dan Dinda berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah Bahri yang tidak jauh dari Bahri jualan mie ayam keliling.

“Kamu sudah lama jualan mie ayam?” Tanya Dinda ketika berjalan menuju rumah Bahri.

“Sejak ayah saya meninggal, waktu itu saya masih kelas 2 SMK.” Jawab Bahri.

“Oh, maaf … kalau mengingatkan kamu kepada almarhum ayahmu.” kata Dinda sambil berjalan di belakang gerobak mie ayam Bahri.

 

“Itu rumah saya.” Kata Bahri sambil memarkirkan gerobak mie ayamnya di teras rumah kecil yang sederhana.

“Assalamu’alaikum, nenek Bahri pulang.” Kata Bahri sedikit berteriak, maklum pendengaran nenek sedikit berkurang.

“Iya le.” Jawab nenek sambil keluar. “Lho ini siapa? Pacar kamu?” Tanya nenek kepada Bahri.

“Bukan nek.” Jawab Bahri dan Dinda hampir bersamaan.

Powered by Blogger.
close