[Novel Sang Pangeran Cinta] Bab 1 : Kami Mengambil Semua Resiko Itu


Oleh Tuswan Reksameja

Prolog :
Sinta, sosok gadis remaja yang beranjak dewasa. Yang awalnya hidup serba kekurangan namun akhirnya menemukan kakeknya yang kaya raya sehingga kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Ketika Sinta sedang senang-senangnya menjadi orang kaya baru. Mobil yang ditumpangi Sinta menabrak seorang pemuda tampan yang naik sepeda. Siapakah pemuda tampan tersebut? Kenapa bisa mengubah kehidupan Sinta? Apakah ia adalah Sang Pangeran Cinta? Tidak mudah perjalan Sinta merebut hati Sang Pangeran Cinta, ternyata Sinta harus bersaing dengan remaja-remaja seusianya untuk merebut Sang Pangeran Cinta tersebut. Apakah Sinta, gadis miskin yang kini menjadi super kaya itu bisa meluluhkan hati Sang Pangeran Cinta? Apakah kakek nenek Sinta juga bisa mengubah pribadi Sinta? Jangan lewatkan kisah Sang Pangeran Cinta
****

Bab 1 : Kami mengambil semua resiko itu

Praaaang….. tiba-tiba sebuah piring dibanting oleh Sinta, anak gadis Pak Bahri satu-satunya yang masih duduk di kelas 3 SMA swasta. Sinta kesal karena keinginannya tidak dikabulkan oleh ayahnya, Bapak Bahri. Sinta meminta dibelikan sepeda motor agar bisa seperti teman-teman SMA nya yang berangkat dan pulang sekolah memakai motor. Tidak seperti dirinya yang harus rela berdesak-desakkan di angkutan umum, rela berbaur dengan bau parhum dan keringat seluruh penumpang.

Belum jika angkotnya penuh, Sinta harus menunggu 30 menit lagi angkutan penumpang baru datang. Sinta, gadis yang suka bersolek itu sudah menjalaninya sejak duduk di bangku SMP hingga kelas 3 SMA. Dia merasa iri hati Ketika melihat teman-teman sebayanya terlihat menikmati pulang pergi ke sekolah menggunakan sepeda motor.

“Pokoknya, Sinta nggak mau sekolah kalau tidak dibelikan motor.” Teriaknya sambil membanting piring yang ada di ruang makan.

“Nak, motor itu belinya pakai duit,” Kata Pak Bahri kepada Sinta dengan lembut. “Bapak belum punya duit sebanyak itu untuk beli motor, tolong kami paham.” Lanjut Pak Bahri, lelaki yang sudah kelihatan tua dan Lelah karena setiap hari harus berjualan mie ayam keliling.

Kulit hitamnya memperlihatkan bahwa Pak Bahri laki-laki yang pekerja keras, bertanggungjawab, dan rela berkorban demi untuk keluarga tercintanya. Sinta, anak satu-satunya dari mendiang istrinya yang meninggal saat berjuang melahirkan Sinta.

Pak Bahri masih merasakan perih, Ketika sang istri harus rela dirawat di rumah sendiri karena tidak ada biaya rumah sakit Ketika saat hamil juga terdeteksi ada kanker di rahimnya. Dokter sudah menyarankan, ia harus merelakan calon anak yang masih dikandungnya atau harus merelakan istrinya kelak Ketika melahirkan. Sebuah pilihan yang sangat berat waktu itu, karena Pak Bahri sudah menunggu puluhan tahun sang buah hati dari pernikahan dia dengan mendiang istrinya.

Hingga suatu malam, Pak Bahri menyampaikan perihal tersebut ke istri tercintanya tentang penyakit yang diderita istri dan resiko jika kelak melahirkan bayinya.

“Kata dokter, ada dua pilihan.” Kata Pak Bahri sambil mengusap rambut kepalanya yang tidak gatal.

“Apa itu mas? Apakah bayi dalam kandungan kita bermasalah?” Tanya sang istri, penuh selidik kepada Pak Bahri.

“Bayi kita sehat-sehat saja.” Lanjut Pak Bahri. “Namun kami memiliki kanker rahim yang akan sama-sama membesar bersamaan dengan calon anak kita.” Lanjut Pak Bahri dengan suara lirih dan terlihat sangat sedih.

“Aku sudah memutuskan, untuk tetap melanjutkan kehidupanmu.” Kata Pak Bahri.

“Maksud mu mas?” Tanya sang istri. “Saya harus menggugurkan kandungan ini? Kandungan yang sudah puluhan tahun kita nantikan?” Kata istri Pak Bahri.

“Iya, mau tidak mau itu pilihan kita dik.” Jawab Pak Bahri sedih.

“Tidak mas. Tidak. Saya akan meneruskan kandungan ini, apapun resikonya.” Kata istri Pak Bahri bersikukuh dengan pendiriannya.

Bagaimana tidak. Istri Pak Bahri tidak kunjung diberi kehamilan diusia pernikahannya yang ke 15 tahun. Hingga kabar itu datang Ketika usia Pak Bahri dan istri tidak lagi muda, ia hamil di atas usia 38 tahun, yang konon itu usia yang rentan untuk hamil. Ditambah, ternyata di rahimnya ditemukan kanker yang semakin lama akan membesar bersamaan dengan janin dalam kandungannya.

Hingga pada akhirnya, Pak Bahri mengabulkan permohonan sang istri dengan terpaksa. Iya siap mengambil segala resiko kehilangan istri tercintanya. Istri yang sudah menemani getir dan pahit nya kehidupan. Istri yang rela meninggalkan keluarga kaya rayanya karena tidak direstui oleh kedua orang tuanya Ketika Pak Bahri mempersunting dan akan menikahinya. Hingga sang istri harus diusir dan tidak diakui sebagai anaknya Ketika itu.

Sakit memang, menjalani hidup Bersama sang istri tanpa restu kedua orang tua. Hingga ia rela harus pergi jauh keluar kota agar bisa menjauhi kedua orang tuanya yang kaya raya. Orang tua yang tidak sudi menerima menantunya karena bukan dari keturunan orang kaya dan berada.

“Baiklah, kita akan ambil semua resiko ini.” Kata Pak Bahri dengan suara parau.

“Iya mas, saya yakin, semua ini sudah diatur oleh Sang Pencipta.” Kata sang istri menguatkan. “Jika aku kelak harus diambil nyawanya, aku rela demi anak kita.” Kata sang istri dengan raut muka sangat sedih.

****

“Bagaimana keputusannya Bapak?” Tanya Dokter kepada Pak Bahri saat dokter memeriksan kandungan sang istri.

“Kami sudah bersepakat melanjutkan kehamilan ini dok.” Kata Pak Bahri dengan suara lirih dan sangat terlihat sedih membayangkan kelak istrinya meninggalkan dia dan anaknya.

“Apakah ini sudah dipikirkan dengan matang-matang Bersama istri Bapak?” Tanya Pak dokter ingin memastikan keputusan yang diambil.

“Sudah pak Dokter. Kami siap menanggung apapun resiko yang sudah dokter sampaikan kepada kami.” Jawab Pak Bahri sambil melirik sang istri yang duduk di sampingnya.

****

Kedua pasangan yang sudah tidak musa lagi itu akhirnya berjalan meinggalkan rumah sakit di kota kecil tempat mereka tinggal. Kota di mana Dia dan sang istri yang rela meninggalkan kemewahan keluarga yang dia tinggalkan.

****

Keluarga Joko Subroto, seorang pengusaha kaya raya dengan bermacam gurita bisnis yang dia jalankan. Mulai dari bisnis perumahan, kuliner, hingga merambah ke bisnis yang sangat ditentang oleh anak Perempuan semata wayangnya, yaitu bisnis hutang piutang dengan bunga yang sangat mencekik para nasabahnya.

Anak perempuan Pak Broto, yang sudah sedikit mengenal ajaran agamanya di kampus favorit tempat kuliahnya ini tidak rela, jika ayah nya menjadi orang yang berperan dan pemeran bisnis simpan pinjam dengan bunga yang mencekik.

Pak Broto, dengan seluruh kaki tangannya tega mengusir dan menyita rumah nasabahnya jika tidak bisa membayar pokok hutang dan bunga nya yang setiap bulannya bertambah terus. Jika satu, dua, atau tiga bulan saja tidak mengansur, maka bisa dipastikan di bulan yang keempat Pak Broto akan menyuruh anak buahnya yang terkenal kejam untuk mencari nasabahnya. Hingga mau tidak mau dia harus diusir dari rumahnya sendiri karena tidak sanggup membayar cicilan hutang dan bunga yang makin ke sana semakin menggunung.

“Ayah, tolong hentikan bisnis ini.” Kata anak Pak Broto Ketika itu memelas. “Saya kasihan dengan Bapak, kelak harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah.” Kata gadis yang waktu itu belum selesai kuliah.

“Kami tahu apa tentang bisnis ini. Kamu diam saja.” Kata Pak Broto sambil melotot ke anak gadis yang menasehatinya. “Toh kamu juga menikmati uang yang didapatkan.” Kata Pak Broto. “Siapa yang membiayai kuliahmu setiap semester? Siapa yang mengirim uang jajan kamu setiap bulan? Siapa kalua bukan bapakmu ini.” Cerocos Pak Broto.

“Kalau memang tidak suka dan menganggap uang bapak ini haram, kamu boleh tidak menerima uang dari bapak.” Lanjut Pak Broto berapi-api. “Saya malah senang tidak mengeluarkan uang untuk anak sepertimu, yang barus kemarin belajar agama saja sudah berani menasehati.” Lanjut Pak Broto.

Ibu Broto yang mendengar suaminya mengomel sejak tadi pun akhirnya angkat bicara.

“Sudahlah nduk, kamu kuliah saja yang bener. Tidak perlu mengurusi bisnis bapakmu.” Jawab ibu dibalik korden.

Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, dan berkali-kali waktu itu Pak Broto tidak bisa diminta untuk berhenti menjalankan bisnis itu. Hingga akhirnya Pak Broto saking gemesnya mengusir anak Perempuan semata wayangnya untuk pergi jauh-jauh dari rumahnya dan jangan berharap mendapat uang sepeserpun untuk biasa kuliah dan keperluan kehidupannya.

****

BERSAMBUNG YAA >>> BAB 2 KLIK DI SINI  

Powered by Blogger.
close