Tahun Politik, Ketika Wong Cilik Diperhatikan
Tahun 2024, Indonesia akan menyelenggarakan event 5 tahunan, yaitu pemilihan presiden dan wakil rakyat. Tahun di mana wong cilik akan lebih banyak diperhatikan dibanding hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, dan tahun-tahun non politik.
Pejabat atau calon pejabat yang tadinya jarang main ke pasar, tiba-tiba ke pasar dan ngajak ngobrol para pedagang dan pembeli, tanya-tanya harga telur lah, harga daginglah, harga cabe lah, harga brambang lah, harga beras, dan harga-harga lainnya. Pejabat atau calon pejabat yang jarang olahraga, tiba-tiba joging lah, main bola lah, dan main-main yang lainnya.
Belum lagi yang tiba-tiba jadi sangat dermawan, sumbang sana, sumbang sini. Jalan yang biasanya berlobang tiba-tiba ada perintah untuk diaspal, sedekah mereka dipublikasikan agar para wong cilik ngerti kalau dia si dermawan. Media massa diundang ketika menyalurkan bantuan ke para wong cilik.
Eh ada lagi yang tiba-tiba kelihatan agamis alias islamis, padahal hari-hari biasanya nggak berpeci, nggak agamais, opo meneh islami. Biasanya nggak pakai jilbab, tiba-tiba berjilbab. Biasanya nggak ke masjid, eh sering terlihat mondar-mandir dan jalan-jalan ke masjid. Jarang melu pengajian, eh hadir di pengajian.
Belum lagi para pejabat dan calon pejabat membayar orang alias buzzer untuk memoles dirinya agar dibicarakan di seluruh media offline, online, bahkan media sosial. Bagaimana biar jadi trending topik agar nangkring terus.
Eh tugas para buzzer bukan hanya moles biar kelihatan baik, tapi juga menyerang para lawan politik mereka, agar kelihatan jelek, busuk, dan para wong cilik tidak simpati kepada lawan politiknya.
Tentu semua itu dipersembahkan kepada para wong cilik, karena mereka sedang menarik simpati para wong cilik, kalau wong cilik sudah diambil hatinya akan lebih mudah memilih mereka. Kalau wong cilik sudah diberi sesuatu, ketika mereka minta ya mau nggak mau permintaan mereka akan dilayani.
Pokoknya perhatian para pejabat dan calon pejabat akan fokus ke para wong cilik ini, mereka rela mengeluarkan banyak rupiah demi meraih simpati mereka.
Memang tidak bisa dipungkiri, sudah jadi rahasia umum, ketika wong cilik diberi limapuluh ribuan, seratus ribuan maka mereka akan dengan sukarela memilih yang memberi. Kadang jadi tidak terasa adil, ada pejabat atau calon pejabat yang baik, gara-gara tidak memberi amplop eh nggak ada yang memilih. Ini realita, ini fakta, ini terjadi di mana-mana.
Bingung juga kan, mau mbenerin sikap seperti ini dari mana.
Tapi yakinlah, masih ada wong cilik yang tidak bisa dibeli oleh wong licik, masih banyak wong cilik yang tidak bisa dipikat oleh wong picik, masih sangat banyak wong cilik yang tidak rela negeri ini di tangan orang-orang yang berisik nya hanya di tahun politik.
TMT
Foto Kompasiana.com
Post a Comment