Jangan Menjadi Pendendam
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Kenapa anak-anak tidak kita ajari sikap membalas setiap kekerasan dengan kekerasan yang sama? Karena semangat membalas keburukan dengan keburukan dapat menciptakan siklus dendam yang tidak berkesudahan. Bahkan tidak jarang yang akhirnya meluas menjadi konflik berkepanjangan antara orangtua dan orangtua, bahkan keluarga dan keluarga.
Kita sudah belajar banyak dari negeri kita ini. Sudah cukup rasanya kita melihat dan merasakan teladan buruk berupa sikap mendendam tak berkesudahan; mempertontonkan perseteruan dan mudah berburuk sangka. Kita perlu mendidik anak-anak kita agar kelak memiliki sikap yang lebih matang dibandingkan kita.
Adalah hak anak —dan siapa pun yang dizalimi— untuk membalas dengan kadar yang sama. Tetapi alangkah sering balasan itu justru lebih kasar dan bahkan lebih sadis dibandingkan tindakan yang diterimanya. Ini belum lagi jika yang dialami sebenarnya bukanlah bullying, melainkan kecerobohan atau ketidaksengajaan. Tetapi ketika anak diajari untuk “lawan! balas!”, maka anak-anak itu berkembang menjadi manusia sumbu pendek kepada siapa pun, termasuk kepada saudara kandung maupun orangtua. Hari ini, betapa banyak anak yang justru mudah tersinggung saat berinteraksi dengan saudara kandungnya sendiri.
Hanya diam saat mengalami perundungan (bullying), padahal sudah berulang kali, merupakan sikap yang buruk. Ini bukanlah kesabaran. Ini kelemahan. Maka sabar pun ada ilmunya dan itu kita ajarkan kepada anak. Membalas dengan kadar yang sama memang dibolehkan, tetapi itu pun harus diilmui agar ia tidak melebihi kadarnya dalam membalas. Karena haknya adalah sebatas yang sesuai kadarnya.
Akan tetapi membalas adalah tingkatan minimal. Ia hanya mengambil haknya, bukan meraih keutamaan yang menjadikan Allah Ta’ala ridha kepadanya. Di antara keutamaan yang perlu kita didikkan pada diri anak sebagai rangkaian dari pendidikan untuk menegakkan shalat ialah mencegah kemungkaran sebagaimana nasehat Luqman kepada putranya. Jadi ketika anak bertindak, bahkan dengan tindakan yang keras, haruslah dalam rangka mencegah kemungkaran. Kewajiban kita membekali mereka agar benar-benar memenuhi syarat sebagai tindakan mencegah kemungkaran. Bukan melampiaskan sakit hati dan amarah.
Jadi, ketika anak diam bukan karena keder dan merasa lemah; berani bertindak bukan karena merasa kuat. Ia memenuhi hak saudaranya seiman yang menzalimi dengan mengingatkannya. Begitu pula ketika anak harus bertindak keras misalnya, juga sebagai bagian dari mencegah kemungkaran. Ia mengingatkan temannya yang melakukan bullying agar tidak melakukan perbuatan itu kepada dirinya dan kepada siapa pun. Inilah yang saya lakukan pada anak pertama saya dulu, antara lain.
Sedikit keluar dari topik kita kali ini. Berhati-hatilah dari mengedepankan sikap galak dan membakar dendam. Hari ini berseteru, apa yang terjadi jika kelak dia menjadi mantu??! Jangan sampai kejadian-kejadian ini masih mengganggu di waktu kita seharusnya semakin sibuk menyiapkan bekal pulang ke kampung akhirat.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Post a Comment