[Novel Sang Pangeran Cinta] : Bab 4 : Kok Nama Belakangnya Sama?

Oleh Tuswan Reksameja

Sesampai di rumah sakit, mobil Pak Broto langsung menuju ke UGD. Setelah parkir di depan UGD rumah sakit di kota tersebut, disambut oleh satpam dengan membawa bed rumah sakit dan ikut membantu mengangkat anak gadis berseragam SMA ke bed rumah sakit.

“Tolong ada yang ke bagian pendaftaran.” Kata satpan rumah sakit tersebut.

Juned lalu menuju ke bagian pendaftaran. Lalu kembali lagi karena ditanya data anak berseragam SMA tersebut, nama, Alamat, usia, dan alamatnya.

“Bagian pendaftaran menanyakan data anak tersebut pak.” Kata Juned.

Terlihat Pak Broto gelisah, lalu mengecek tas sekolah yang dibawa oleh anak gadis tersebut. Pak Broto hampir mengeluarkan seluruh isi tas anak tersebut. Terlihat buku-buku Pelajaran kelas 3 SMA berserakan di mobil, ada juga parhum khas remaja seusia SMA, terdapat juga cermin kecil. Tentu untuk menghias gadis ini ketika di sekolah. Akhirnya Pak Broto menemukan dompet dan HP di saku tas yang berbeda.

“Ini jun, dompetnya. Siapa tahu ada data anak nya.” Kata Pak Broto sambil menyodorkan dompet ke Juned.

“Siap bos.” Lanjut Juned sambil melangkah ke bagian pendaftaran.

Sinta Kirana Subroto, nama yang tertulis di KTP remaja SMA itu begitu jelas. Jantung Pak Broto berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

“Kok nama belakangnya sama dengan nama saya.” Gumam Pak Broto. “Jangan-jangan ini …” Lanjutnya, namun tiba-tiba ada panggilan dari bagian pendaftaran.

“Keluarga Sinta Kirana Subroto.” Teriak petugas pendaftaran.

“Saya.” Jawab Juned sambil bergegas ke bagian pendaftaran, lalu mengeluarkan sejumlah uang disodorkan ke petugas.

“Terimakasih, mohon keluarga menunggu, pasien sedang kami periksa.” Kata petugas pendaftaran.

Terlihat Pak Broto sudah keluar dari mobil sambil memegang handphone milik anak gadis remaja tersebut. Terlihat Beliau berusaha mencari kontak yang sering dihubungi oleh anak gadis tersebut.

“Halo sinta, tumben kok menghubungi saya.” Teriak suara Wanita di gagang handphone milik Sinta.

“Iya, halo…” Pak Broto terdengar gagap. “Saya Pak Broto, pemilik HP ini tadi saya tabrak dan sekarang sedang di UGD rumah sakit.”

“Apa, Sinta kecelakaaan.” Teriak gadis yang nomornya sering di hubungi oleh Sinta. Sehingga Pak Broto menghubungi nomor tersebut.

“Iya, benar. Saya minta tolong bisa menghubungi keluarganya bisa?” Pinta Pak Broto.

“Iya, bisa om. Nanti saya kirim nomor bapaknya Sinta.” Lanjut suara di seberang sana sambil menutup panggilan WA melalui Handphone Sinta.

Pak Broto sangat gelisah, masih memikirkan kenapa nama belakang anak gadis tersebut sama dengan dirinya, dan nama tengahnya sama dengan nama anaknya.

“Sinta Kirana Subroto.” Gumam Pak Broto. Terlihat ada genangan air yang hampir jatuh di kelopak mata Pak Broto. Pikirannya melayang puluhan tahun yang lalu, ketika anak semata wayangnya memprotes bisnis haram yang dilakukan Pak Broto.

Memang setelah Dinda pergi beberapa tahun, tiba-tiba musibah sering datang di keluarga Pak Broto. Pegawainya menabrak orang di jalan kek dan dia harus mengganti seluruh biaya perawatan rumah sakit. Pegawainya kecelakaan di jalan, dan banyak lagi. Hingga suatu saat Pak Broto memutuskan untuk menerima saran dari anak gadisnya untuk berhenti menjalankan bisnis haramnya.

Ia rela melepas bisnis yang oplahnya sudah milyaran dan berusaha mengembalikan hak-hak yang pernah dirampas oleh dia kepada yang berhak.

Benar saja, Setelah berhenti menjalankan bisnis yang dikatakan haram oleh anak gadisnya, bersangsur-angsur keluarga Pak Subroto merasakan kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Bahkan Pak Broto sekarang senang bersedekah. Para deep collector yang bekerja dengan Pak Broto akhirnya banyak yang berpindah ke Perusahaan-perusahaan lain. Hanya tersisa Juned, yang memang dijadikan sopir andalan keluarga Pak Broto. Walau badannya penuh tato, namun hati Juned sesungguhnya lembut.

****

Penasaran, Pak Broto masuk ke ruang UGD melihat kondisi gadis SMA di dalam. Dia masih belum siuman.

“Wajahnya memang sangat mirip dengan Dinda.” Gumam Pak Broto. “Apakah ini anaknya Dinda, kalau anaknya Dinda berarti dia cucu saya.” Lanjut Pak Broto.

“Bagaimana kondisi pasien ini dok?” Tanya Pak Broto ke dokter jaga di UGD.

“Masih dalam observasi Pak. Barusan kami lakukan ronsen bagian kepala yang terbentur.” Kata dokter ke Pak Broto. “Mohon bisa ditunggu sejenak nggih pak.” Lanjut dokter tersebut.

Genangan air mata yang sedari tadi ditahan oleh Pak Broto akhirnya menetes saat melihat kembali anak gadis yang masih lengkap berseragam SMA tersebut.

“Semoga kamu baik-baik saja, Nak.” Gumamnya sambil mengelus lembut rambut gadis tersebut. Ia merasakan anak yang sudah lama hilang dari kehidupannya hadir di hadapan Pak Broto. “Saya akan menunggu hingga kamu sembuh, Nak.” Kata Pak Broto lirih.

“Lho, kok bapak ke sini. Ada apa pak?” Tanya Juned, ketika melihat penjual mie ayam datang ke rumah sakit.

“Eh, njenengan to mas.” Kata penjual mie ayam. “Ini, saya dapat kabar anak saya kecelakaan tadi.” Kata penjual mie ayam kepada Juned.

“Kalau boleh tahu, siapa nama anak bapak?” Tanya Juned.

“Sinta, lengkapnya Sinta Kirana Subroto.” Jawab penjual mie ayam tersebut.

Akhirnya Juned bercerita, kalau mobil yang dia sopiri telah menabrak anak penjual mie ayam tersebut. Terlihat begitu sedih bapak penjual mie tersebut.

“Tapi jangan khawatir, Pak. Bos saya bertanggungjawab. Beliau ada di dalam ruangan UGD.” Kata Juned.

Bergegas, penjual mie ayam masuk ke ruang UGD, di mana anaknya sedang di rawat di sana. Setelah melihat anaknya yang masih berbaring belum sadarkan sendiri, penjual mie ayam tersebut terlihat sangat sedih.

Namun, penjual mie ayam tersebut kaget dengan sesosok orang yang berdiri menunggu anaknya yang terbaring di bed rumah sakit.

“Bapak Subroto.” Sedikit berteriak penjual mie ayam ketika melihat orang yang menunggu di samping anaknya.

“Ka … kamu… yang dulu datang ke rumah saya bersama Dinda kan?” Teriak Pak Broto kepada penjual mie ayam tersebut. “Di mana Dinda sekarang? Di mana? Saya ingin bertemu dengan anakku.” Serang Pak Broto dengan berbagai pertanyaan.

Terlihat beberapa petugas jaga di UGD saling berpandangan, karena sedikit ada suara keributan di ruang pasien anak SMA yang belum sadar tersebut.

Dicecar pertanyaan dari Pak Broto, penjual mie ayam tersebut hanya diam. Raut wajahnya begitu sedih, bahkan terlihat kelopak matanya basah dengan air mata.

“Di mana Dinda? Di mana? Tolong beri kabar saya.” Kata Pak Broto.

“Dinda sudah pergi delapan belas tahun yang lalu pak.” Jawab penjual mie ayam tersebut menjawab pertanyaan Pak Broto.

Penjual mie ayam, yang ternyata menantu Pak Broto tersebut bercerita ketika istrinya, Dinda mengandung anak yang sekarang berbaring belum sadarkan diri di hadapan mereka. Dinda yang bersikeras meneruskan kandungan yang beresiko meregang nyawanya ketika melahirkan karena ada kanker rahim yang ikut membesar bersamaan dengan janin yang di kandung Dinda.

“Dinda sudah sering saya ajak menemu Bapak dan Ibu,” Kata penjual mie ayam tersebut. “Namun Dinda selalu ragu-ragu kalau Bapak belum bisa menerima kami berdua. Dinda takut bapak akan menyakiti saya sebagai suami Dinda.” Lanjut penjual mie ayam.

Terlihat air mata Pak Broto mengalir deras mendengar cerita dari menantu yang tidak pernah dianggap tersebut.

“Dinda berjanji, akan bertemu dengan Bapak dan Ibu ketika selesai melahirkan anaknya.” Lanjut Bahri, ayah Sinta. “Namun takdir berkata lain, nyawa Dinda tidak tertolong saat melahirkan Sinta.” Kata Bahri sambil meneteskan air mata.

Bersambung Bab 5 nggih
Powered by Blogger.
close