Prinsip Keteladanan Pemimpin
Para ulama dahulu paham bahwa murid mereka tidak hanya mengambil hikmah dan memetik ilmu dari gurunya, tetapi juga mencontoh penerapan adab, akhlak dna tauladan yang baik
Dikutip dari Hidayatullah.com | MEMBERIKAN contoh dan teladan yang baik, bukan semata-mata omongan dan retorika politik bagi seorang pemimpin. Bukan juga sebentuk nasihat muluk atau manis di bibir, namun kebaikan itu hendaknya sudah melekat dan mendarah-daging dalam jiwa dan karakteristik seorang pemimpin.
Lalu, siapa yang menjadi ukuran dan pelopor utama, hingga kebaikan itu tercermin dari sikap dan perbuatannya? Tak lain dan tak bukan adalah figur orang-orang bijak terdahulu, baik dari bapak bangsa, negarawan, hingga agamawan.
Di dalam Islam, tercermin jelas contoh dan teladan itu pada kepribadian Nabi Muhammad ﷺ seperti yang terungkap dalam Al-Quran (QS: al-Ahzab: 21):
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada pada kepribadian Rasulullah, suri teladan yang baik bagimu, yakni bagi bagi orang yang mengharap kasih-sayang Allah dan percaya akan datangnya hari kiamat, serta menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya.” (QS: Al Ahzab: 21).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut dimaksudkan bagi umat Muhammad ﷺ agar mengikuti jejak-langkah perjuangan yang tercermin pada kepribadian Rasul, baik dari apa-apa yang dikatakan maupun apa-apa yang diperbuatnya.
Sedangkan di era medsos ini, orang lebih sibuk memberi nasihat dan petuah, ketimbang memberi teladan, bahkan sibuk berbicara daripada mendengarkan. Adapun pemimpin yang layak disebut qudwah hasanah adalah seseorang yang terbukti dapat mengamalkan ilmunya, serta menjadi pelopor dari setiap kebaikan.
Di dalam Al-Quran juga ditekankan, bahwa Tuhan amat murka kepada orang yang pandai bicara namun tak ada kemauan mengamalkan apa-apa yang dibicarakannya.
Secara implisit, Tuhan tidak menyukai orang yang banyak ilmunya tapi tidak pandai mengamalkannya. Padahal sejatinya, ilmu itu untuk diamalkan, bukan untuk dijadikan ajang postingan, polemik dan perdebatan.
Ulama terkemuka, Tajuddin as-Subqi pernah bercerita perihal adanya segolongan ahli ilmu agama yang tidak meninggalkan amal-amal wajibnya, tapi mereka menyukai kegaduhan dan perdebatan, dan mereka merasa senang ketika debat-debat itu dimenangkan oleh salah satu pihak, hingga para pengikutnya menyebutnya “pakar fiqih” di wilayah itu.
Kegemaran mereka dalam berdebat telah menghabiskan waktunya untuk lebih mendalami ilmu Al-Quran, sampai-sampai mereka merasa bangga disebut ulama dan tokoh agama.
Ketika mereka melaksanakan shalat, pikirannya selalu mengembara untuk urusan-urusan dunia yang dibanggakan, hingga mereka tak dapat fokus dengan bacaan-bacaan shalatnya.
Para ulama dahulu sangat paham bahwa murid mereka tidak hanya mengambil hikmah dan memetik ilmu darinya, tetapi juga mencontoh penerapan ilmu berupa adab dan akhlak yang baik. Kita mengingat kisah-kisah menarik yang dialami para murid Imam Ahmad bin Hanbal.
Mereka tekun menuntut ilmu, tetapi sekaligus mengambil teladan dari jejak langkah perjuangan sang guru (mursyid). Imam Ahmad dikenal banyak memotivasi ribuan muridnya, hingga mereka mengambil teladan, ibrah dari akhlak mulia yang dipancarkan sang guru.
Terkait dengan itu, adz-Dzahabi pernah memberi kesaksian: “Suatu hari, hadirlah sekitar 5000 jamaah yang memadati ruang majlis ta’lim, mendengar wejangan Imam Ahmad. Di situ sekitar 500 orang mencatat apa-apa yang disampaikan beliau, sementara yang lainnya mendengar sambil mengambil contoh dari keluhuran budi pekerti Imam Ahmad.” (Siyar A’lamin Nubala: 21/373).
Apa yang dinyatakan adz-Dzahabi senada dengan murid Ibnu Tamiyah (Ibnu Qayyim) yang suatu kali menyatakan bahwa dirinya sering mendatangi kediaman sang guru, ketika ditimpa perasaan suntuk dan gundah.
“Jika kami terserang rasa panik dan takut, karena suatu prasangka yang berlebihan,” ujar Ibnu Qayyim, “kami mendatangi guru kami, Imam Ibnu Taimiyah, hingga kami mendapat sentuhan-sentuhan kalbu dan kehangatan dari beliau. Dengan hanya memandang wajahnya, terlebih ucapannya, hati yang semula sempit dan gundah, berganti dengan perasaan lapang, tegar dan penuh percaya diri.” (al-Wabil as-Sayyib, hal 48).
Ada sentuhan batin yang saling terhubung antara pikiran dan perasaan orang-orang shaleh, yakni orang-orang yang senantiasa berzikir dan mengingat kebesaran Allah Swt.
Tipikal semacam itu tak akan menuruti hawa nafsunya, hingga kebaikan dan kelembutan hatinya memancar bagi siapapun yang diajaknya bicara. Ia tak mau disibukkan oleh urusan-urusan duniawi yang melampaui batas.
Bahkan, ia pun tergolong tidak berlebihan (ghuluw) dalam urusan-urusan syariat. Rasulullah ﷺ sendiri pernah mengungkap keteladanan sahabatnya, Abu Bakar as-Shiddiq, bahwa dalam dirinya banyak kebaikan yang perlu dicontoh para sahabat lainnya.
Di antara kelebihan Abu Bakar adalah, ia rajin melaksanakan puasa, suka bertakziyah dan menengok orang sakit, juga suka menyantuni fakir-miskin.
Dalam ceramah-ceramahnya, Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym sering memperingatkan jamaahnya, bahwa perubahan akan sulit dimanifestasikan dalam kehidupan, jika setiap elemen masyarakat sibuk menuntut pihak lain agar berubah. Karena prinsip perubahan yang diridhoi Allah.
Ketika kita beritikad keras untuk memulainya dari diri sendiri, dari hal-hal kecil, dan dimuali saat ini juga. Itulah i’tikad dalam sebuah perubahan.
Semoga Allah melembutkan hati dan kalbu kita dengan lebih banyak menyantuni fakir-miskin dan anak-anak yatim piatu. “Janganlah kita disibukkan dengan pergaulan di kalangan orang-orang atas yang hidupnya serba mewah dan glamor, kutip Aa Gym, sebab, hati bangsa ini akan keras membatu, jika para pemimpinnya memberi contoh dan teladan pada kemewahan dan kemegahan dunawi belaka.*/ Supadilah Iskandar, guru dan pendidik sastra dan jurnalistik di pedalaman Banten Selatan
Post a Comment