Syahwat Kekuasaan

Oleh AUNUR ROFIQ

Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertangungjawabkan kepada manusia maupun Allah SWT. Suatu amanah dapat dijalankan dengan baik, jika yang menerima amanah mendapatkannya dengan penuh kesadaran akan tugas dan tanggung jawab.

Hal ini sebagaimana pesan Rasulullah SAW kepada Abu Dzar, "Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik.” (HR Muslim).

Abu Dzar adalah sahabat yang sangat rajin beribadah, tetapi Rasulullah SAW tidak memberikan apa pun jabatan kepemimpinan kepadanya. Sebab, seorang pemimpin bukankah harus mempunyai keberanian dalam kepemimpinannya.

Sedangkan Abu Dzar walaupun rajin beribadah, tetapi lemah dalam sifat-sifat yang diperlukan bagi seorang pemimpin seperti keberanian dan sebagainya. Seorang pemimpin mempunyai syarat yang lebih dari seorang pekerja, pegawai, dan orang biasa.

Penerima amanah hendaknya menyadari kemampuan dirinya untuk memimpin. Jadi untuk mendapatkan amanah itu bukan dengan nafsu, apalagi dirinya ada kelemahan yang fatal. Keberanian saja tidaklah cukup dan yang paling penting bahwa "dirinya bersih" dari kesalahan yang sifatnya memperkaya diri maupun kelompoknya.

Di samping itu ada syarat yang harus yang dipenuhi, yaitu tidak mudah terpengaruh oleh hawa nafsu, baik nafsu dunia, nafsu kekayaan, nafsu kekuasaan, dan lainnya. Sebab, jika seseorang mempunyai syarat kepemimpinan zahir, seperti keilmuan, keberanian, tetapi tidak mempunyai syarat batin, maka kepemimpinan tersebut akan dipakai untuk mencari nafsu keserakahan, baik nafsu kekayaan ataupun kekuasaan.

Oleh sebab itu, sejak dini, Rasulullah SAW mengantisipasi umatnya jangan sampai memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya. Sebab, pemimpin yang dapat menjalankan tugas dengan baik adalah pemimpin yang mengambil kepemimpinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, bukan mereka yang mendapatkannya dengan nafsu dan emosi.

Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Abdurahman bin Samrah, "Wahai Abdurahman bin Samrah, janganlah engkau meminta kekuasaan, sebab jika engkau diberikan tanpa meminta, maka engkau akan ditolong (Allah SWT) dalam menjalankannya, tetapi jika engkau meminta kekuasaan tersebut (dengan nafsu), maka engkau telah menjadi wakil (hawa nafsu)." Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Peringatan Rasulullah SAW ini bermakna bahwa memilih seorang pemimpin jangan karena janji kampanye yang dilakukannya, tetapi karena melihat niat ingin melayani dan kepribadian (akhlak) yang tercermin dari perbuatannya selama ini. Sebab jika seseorang telah memulai kepemimpinan dengan nafsu, maka akhirnya kepemimpinan itu akan dijalankan dengan nafsunya dan tentu bukan menjalankan amanah.

Kekuasaan jika diibaratkan, seperti makanan dan minuman. Kekuasaan merupakan perkara halal yang dibutuhkan, bahkan merupakan sebuah keharusan. Karena tanpa kekuasaan, sulit membayangkan kehidupan umat manusia bisa bertumbuh secara sehat dan kuat.

Kekuasaan itu terasa nikmat, aromanya menggoda selera orang yang berada di dekatnya. Tampilannya memikat mata orang yang melihatnya. Siapa pun yang menyantap akan terbuai oleh kenikmatan dan kelezatannya. Dan ketika sudah terbuai, tak jarang orang yang ingin menambah (bahasa Jawa "tanduk") sembari melupakan batasan yang ada.

Tahukah bahwa pemberi kekuasaan itu merupakan ranah Sang Pencipta. Kepemimpinan dan kekuasaan adalah milik Allah SWT semata. Dia memberikan kepemimpinan dan kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Pada saatnya kepemimpinan dan kekuasaan itu akan diminta kembali.

Sebagaimana dalam firman-Nya surah Ali Imran ayat 26, “Katakanlah, ‘Ya Allah Pemilik Kerajaan, Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan (kekuasaan) dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Hanya di tangan-Mu segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Jadi jelas bahwa siapa yang akan menjadi pemimpin dan memegang kekuasaan adalah atas kehendak-Nya, bukan kemauan manusia yang berambisi. Ikhtiar dengan niat menjadi pemimpin yang amanah dan melayani masyarakat jadikanlah modal awal. Janganlah kalah dengan pesona dunia yang menggoda keimanan para pemimpin untuk menjadikan tujuannya.

Maka hindari dan jangan termasuk orang yang sia-sia perbuatannya, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Kahfi ayat 104, “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”

Jauhi dan hindari berbuat khianat, jika sudah berjanji, penuhilah janji itu. Jika terasa berat memenuhi janjinya, maka janganlah mudah berjanji. Ada yang menyebut dalam politik, janji itu biasa untuk dilanggar. Namun sebagai orang beriman, maka penuhilah janjimu.

Negeri ini akan membuka pendaftaran calon presiden dan wakilnya pada 19 Oktober 2023 sampai 25 November 2023. Tentu hari-hari ini dan ke depan akan ramai pemberitaan tentang capres dan pasangannya.

Wahai, para calon pemimpin, tunjukkanlah keluhuran budimu, bukan ambisimu. Kabarkan pada masyarakat bahwa tujuanmu bukan untuk ketenaran melainkan bekerja melayani masyarakat.

Hiduplah dengan sederhana karena kesederhanaan ini akan menghalangimu dari keserakahan. Dan ingatlah duduk sebagai pemimpin akan melenakan sehingga lupa berdiri.

Allah SWT selalu mempergilirkan kekuasaan karena setiap kekuasaan ada pemimpin dan ada batasnya.

"Ya Allah, berikanlah kebeningan hati bagi para calon pemimpin agar tidak buta mata hatinya, berikanlah pertolongan dalam menjalankan amanah bagi pemimpin yang tidak meminta. Berilah petunjuk bagi masyarakat agar bisa memilih pemimpin yang berakhlak mulia serta teguhkan hatinya untuk tidak saling membenci jika terjadi perbedaan."

Sumber : www.repuplika.co.id

Powered by Blogger.
close