Ilmu, Guru, dan Transformasi Ilmu dalam Membangun Peradaban Islam


Oleh
Fuad Fakhrudin, M.Pd.I.

Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kalian mengikuti kemauan mereka setelah ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kalian.” (Terjemah Q.S. Al-Baqarah: 120)

Dalam kitab tafsir Al-Jalalain dan At-Tafsir Al-Muyassar, ‘ilmu’ dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai ‘wahyu’. Sehingga dapat ditafsirkan jika kamu (Muhammad) telah mendapatkan wahyu namun mengikuti Yahudi dan Nasrani, maka kamu akan tersesat.

Ayat ini juga berlaku kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan pengajaran wahyu, maka mereka tidak boleh mengikuti Yahudi dan Nasrani. Karena mengikuti keduanya berarti kesesatan.

Hal menarik di sini adalah penggunaan kata ‘ilmu’ untuk ‘wahyu’. Ini menunjukkan kemuliaan ilmu. Ini juga menunjukkan bahwa ilmu perlu memiliki karakteristik seperti wahyu.

Dalam Q.S. Al-Isra: 105, karakteristik wahyu adalah benar isinya serta benar jalur periwayatannya. Wahyu tidak salah dan dusta. Wahyu juga diturunkan / diriwayatkan melalui jalur yang benar. Allah subhanahu wa ta’ala menugaskan Jibril alaihissalam untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat menyampaikan kepada tabi’in dan seterusnya hingga tersebar ke seluruh dunia.

Jika demikian, seharusnya ilmu benar secara isi maupun jalur pengajarannya. Ilmu perlu berisi kebenaran, kepastian, dan tidak boleh berisi kedustaan. Pengajarannya pun selektif. Seorang guru tidak sembarangan mengajarkan ilmunya, tapi guru perlu melakukan seleksi. Jika muridnya dianggap lulus, terutama dalam aspek adab dan niat, maka guru baru akan mengajarkan ilmunya. Dengan demikian, diharapkan ilmu senantiasa dijaga dengan cara yang benar. Ilmu tidak akan digunakan untuk mencari keuntungan duniawi, apalagi untuk membodohi orang awam ataupun mendebat orang lain yang berilmu. Inilah salah satu motivasi ulama mengarang sejumlah kitab tentang adab menuntut ilmu.

Selanjutnya Imam An-Nafasi rahimahullah menyampaikan, “Hakekat segala sesuatu itu tetap. Sehingga memiliki ilmu yang jelas atas sesuatu itu sangat mungkin.” Persoalan yang
kemudian sering muncul, kemalasan menghantui sehingga hakekat sesuatu yang menjadi dasar bagi konstruksi ilmu tidaklah tercapai.

Kemalasan ini bisa berawal dari kemalasan berpikir. Tidak ada upaya untuk melakukan kajian dan penelitian ulang atas apa yang telah dicapai ilmuwan terdahulu. Tidak ada upaya juga untuk mengembangkan apa yang telah dicapai ilmuwan terdahulu. Sehingga ilmu yang ada macet.

Terlebih lagi jika kemalasan mental muncul, kemacetan ilmu dianggap sebagai puncak keilmuan yang tidak boleh dikritik. Siapapun yang mengkritik akan dianggap sebagai pemberontak. Padahal Islam melalui Al-Qur’an mengajak umatnya untuk tidak taklid buta kepada pendahulu, tetapi mengkaji lebih mendalam lagi. Ini salah satunya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 170.

Lebih dalam lagi, Islam mengajukan sebuah konsep ilmu bernama ilmul yaqin. Dalam Q.S. At- Takatsur: 5-7, istilah dan konsep ilmul yaqin dikenalkan. Orang yang memiliki ilmul yaqin digambarkan dapat melihat neraka Jahim. Tentu ini majazi / permisalan. Maksudnya orang yang memiliki ilmul yaqin telah mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya tentang neraka Jahim. Selain itu, informasi yang lengkap tersebut telah melahirkan kesadaran. Sehingga orang yang memliki ilmul yaqin memiliki perilaku sebagai cerminan takut neraka Jahim. Ia berusaha keras menjauhi maksiat, sekecil apapun.

Jika seseorang memiliki ilmul yaqin terkait surga, ia seakan-akan merasakan keindahan surga. Ia pun termotivasi untuk beramal shaleh untuk mendapatkan surga. Mungkin segala sumber daya akan dikerahkan.

Ciri lain pemilik ilmul yaqin adalah kesadaran untuk meningkat ke derajat berikutnya: ainul yaqin. Setelah mendapatkan informasi yang lengkap tentang sesuatu dan bersikap benar, pemiliki ilmul yaqin berusaha menambah ilmu sekaligus menambah kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga ia semakin termotivasi, semakin siap untuk berkorban. Baginya apa yang ada di tangan saat ini hanyalah sarana menuju sesuatu yang jauh lebih baik.

Sebagian ulama kemudian menambahkan derajat yang paling tinggi: haqqul yaqin. Dalam derajat ini, keyakinan telah menyatu dengan dirinya. Sehingga apapun yang terucap, apapun yang dilakukan, bahkan apapun yang dibelanjakan, semuanya mencerminkan keyakinannya. Orang lain yang melihat pemilik haqqul yaqin, bi idznillah, akan ikut tergerak. Bahkan mungkin orang lain siap menjadi pengikutnya.

Demikianlah konsep ilmu dalam Islam. Ilmu tidak menjadi konsumsi akal saja tetapi bertransformasi menjadi gerak tindakan. Ilmu tidak hanya tersimpan tetapi mewujud dalam aksi nyata. Sehingga orang berilmu dalam Islam dapat dijadikan teladan.

Konsep ilmu dalam Islam ini kemudian menjadi tantangan bagi guru. Karena guru tidak sekedar memberitahukan sebuah ilmu. Akan tetapi, lebih dari itu, guru perlu mengantarkan murid kepada penguasaan konstruksi dan kemuliaan ilmu. Bahkan diharapkan guru mampu mengantarkan murid memiliki ilmul yaqin. Sehingga murid tidak hanya mengonsumsi ilmu di akal tetapi mentransformasikan ilmu menjadi iman, takwa, dan amal shaleh. Selanjutnya ketigaentitas ini bisa menjadi modal bagi terbangunnya sebuah peradaban yang penuh barakah Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-A’raf: 96.

Pepatah Arab mengatakan,
فاقد الشئ ال يعطى
“Seseorang yang tidak memiliki, ia tidak akan mampu memberi.”

Dari pepatah ini, sebuah pengertian dapat diambil bahwa guru yang tidak memiliki penguasaan terhadap konstruksi ilmu, ia tidak akan mampu mengantarkan muridnya mencapai sebuah penguasaan. Bahkan bisa jadi seorang guru akan menyesatkan muridnya, jauh dari tujuan semula.

Konstruksi suatu cabang ilmu, menurut As-Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiri dalam muqaddimah kitab Al-Yaqut An-Nafis, dibangun oleh sepuluh unsur:
1.         Batasan
2.         Topik
3.         Manfaat
4.         Problema
5.         Nama
6.         Referensi utama
7.         Hukum syar’i di dalamnya
8.         Relevansi ilmiah
9.         Keutamaan
10.     Tokoh-tokohnya

Penguasaan yang baik atas konstruksi cabang-cabang ilmu semoga bisa mengantarkan seseorang kepada konstruksi ilmu yang utuh. Selanjutnya, ia bisa mencapai hakekat ilmu yang benar: takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran: 7-9 dan Q.S. Fathir: 28.

Hakekat ilmu kemudian mengantarkan seseorang kepada kemuliaan ilmu. Ia senantiasa bertindak dan berkata berdasarkan ilmu. Apapun yang menjadi produk dirinya, semuanya mencerminkan ilmu. Maka layaklah ia menjadi pihak di urutan ketiga setelah Allah subhanahu wa ta’ala dan malaikat dalam hal syahadah ilahiyah, sebagaimana disampaikan dalam Q.S. Ali Imran: 18. Dalam muqaddimah Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari memberi penekanan yang kuat pada aspek ini. Betapa orang berilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga penjagaan adab menjadi kunci pada istiqomahnya seorang ahli ilmu dalam kedudukan ini.

Selanjutnya dalam rangka mengantarkan murid menjadi pemilik ilmul yaqin, guru perlu memiliki tiga hal sekaligus: materi (madah), metode (thariqah), dan ruh imani. Dengan materi yang lengkap, seorang guru diharapkan bisa mendeskripsikan sebuah konsep secara utuh dan benar kepada murid. Dengan metode yang pas, seorang guru diharapkan bisa mengantarkan murid membangun konsep secara kokoh. 

Adapun dengan ruh imani, seorang guru diharapkan bisa menjadi inspirasi hidup bagi murid. Sehingga murid diharapkan bisa mengikat seluruh ilmu yang didapat lewat makna yang indah sekaligus menyentuh.

Dari sinilah guru Islami ditantang untuk senantiasa meningkatkan dirinya: ruhiyah, sikap, dan pengetahuannya. Berhenti meningkatkan diri berarti berhenti untuk menemukan hakekat sebuah ilmu, berhenti untuk membangun konstruksi ilmu, serta berhenti dari menginspirasi murid. Dari sinilah sebuah peradaban berhenti menemukan daya tahan hidupnya. Dalam sekejap peradaban itu bisa punah.

Guru yang terus meningkatkan diri, itulah penggerak peradaban sejati. Guru sendiri bisa mewujud dalam berbagai bentuk: guru di kelas, guru di majelis taklim, da’i, muballigh, terutama ulama. Dalam bentuk apapun, sekali lagi, dialah sang penggerak peradaban sejati. Kepadanyalah takzhim dihaturkan. Wallahu a’lam.

Fuad Fakhrudin, M.Pd.I. Seorang Pendidik & Sekjen DPW Hidayatullah DIY-Jatengbagsel

Powered by Blogger.
close