Pengamat Politik Internasional UI Sofwan Al-Banna Menampik Adanya Hubungan Kuat Hamas dengan Syiah


Associate Professor di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia (UI) Shofwan Al Banna Choiruzzad, menampik ada ‘hubungan’ Hamas dengan Syiah – Iran

Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi  https://dakwah.media/

Dikutip dari laman Hidayatullah.com | SERANGAN Brigade Izzuddin Al-Qassam, salah satu sayap milisi pejuang kemerdekaan Palestina yang dimiliki Hamas menyerbu secara mendadak kantong dan pos militer ‘Israel’ hari Sabtu (7/10/2023). Serangan yang mengagetkan pihak penjajah melahirkan banyak spekulasi –bahkan sampai mengarah tuduhan—buruk kepada para mujahidin.

Belum lama ini, kanal YouTube ASUMSI, mewawancarai Associate Professor di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia (UI) Shofwan Al Banna Choiruzzad, PhD. Dalam wawancanya dengan CEO ASUMSI, Pangeran Siahaan, alumni PPSDMS angkatan kedua yang pernah memenangkan The 39th St Gallen Symposium –acara tahunan yang dihadiri sejumlah pemimpin bisnis dan politik dari seluruh dunia untuk berdialog dengan para pemimpin muda—yang berlangsung di Swiss tahun 2009, menolak asumsi dan tuduhan ada keterlibatan Iran dalam serangan yang dilakukan para mujahidin. 

Wawancara ini merupakan resume obrolan bertema “Perang ‘Israel’-Hamas Meletus, Kedamaian Dunia Terancam Putus” di kanal tersebut ditambah wawancara tambahan kepada yang bersangkutan.

Bahwa untuk menegaskan kepemimpinan Palestina itu kan sekarang masih di Gaza itu hamas, di Tepi Barat itu Fatah . Bahwa memang the leader of Palestine itu ya Hamas,  apa pandangan Mas Sofwan?

Ya, pertama soal Iran  Kalau kita lihat memang ada beberapa spekulasi, termasuk dari media Amerika Serikat yang mengatakan bahwa  serangan ini direncananakan di Iran, dengan mengklaim ini sumber A1.   Namun para ahli secara umum relatif skeptis dengan laporan tersebut.

Karena tidak ada bukti yang relatif kuat untuk menunjukkan bahwa Iran di serangan ini.  Kalau kita lihat, Iran sebenarnya juga agak kaget juga.  Dan kalau kemudian Iran terpaksa ikut turun, itu risikonya sangat tinggi, karena harus melibatkan Hizbullah.

Hizbullah itu crown in the jewel-nya milisi-milisi yang dibangun oleh Iran.  Apakah dia siap, misalnya mengambil risiko Hizbullah turun, yang nanti bisa menang tapi bisa kalah.  Tapi kalau kalah, dia (Iran) akan kehilangan aset yang sangat penting di kawasan. 

Jadi risikonya mungkin cukup besar untuk Iran. Banyak yang melihat Iran mensyukuri ini (serangan Hamas, red).  Iran melihat ini sebagai perkembangan yang mungkin bisa dimanfaatkan situasi,  walaupun memunculkan risiko bagi Iran. 

Namun yang lebih mungkin, Iran bukan aktor utama di belakang Hamas. Menurut saya, kemungkinan paling besar memang ini adalah inisiatif dari faksi-faksi di dalam Palestina sendiri, utamanya Hamas  yang melihat bahwa status quo itu tidak menguntungkan. 

Status quo-nya adalah menunggu, dan membiarkan perluasan pemukiman haram (ilegal) tanpa bisa ngapa-ngapain.  Apalagi perluasan disertai dengan kekerasan-kekerasan sistematis yang terus-menerus. Termasuk beberapa waktu terakhir yang ada pemicunya di sekitar Masjid Al-Aqsha . Makanya namanya Taufan Al-Aqsha  (Badai Al-Aqsha).

Tidak hanya para pemukim bentrok dengan komunitas-komunitas Muslim, bahkan termasuk dengan komunitas-komunitas peziarah Kristen yang diludahi ketika mereka berpapasan dengan pemukim haram. Jadi ada kondisi yang ditandai.  Ini kalau tidak ada perubahan terhadap status quo,  kita tinggal nunggu mati saja, nunggu kepunahan saja. 

Sementara kekuatan-kekuatan kawasan malah makin mendekat dengan ‘Israel’.  Jadi harus ada sesuatu  Tapi menurut saya, faktor utamanya bukan untuk mencegah normalisasinya. 

Itu dampak yang mungkin muncul dari situ tetapi lebih pada mendisrupsi status quo.  “Kalau saya biarkan begini, saya lama-lama akan mati. Saya akan mengalami kepunahan sedikit-sedikit.  Tapi kalau saya melakukan sesuatu yang besar, yang disruptif , itu efeknya dua;  ‘Israel’ marah dan kekerasan yang lebih besar muncul sampai beneran menghabisi langsung. Atau yang kedua, kalau konteks internasionalnya tepat, kita bisa memulai proses perundingan baru,  yang mungkin membuat saya dalam posisi yang lebih adil.

Kenapa Demikian? 

Karena Perjanjian Oslo sudah tidak jalan, gagasan Two State Solution (Gagasan Dua Negara Merdeka) sudah dibuang, terutama dengan perluasan settlement (pemukiman Yahudi illegal) secara terus-menerus  Bahkan dalam Abraham Accord sudah dibicarakan soal konsesi, dimana warga Palestina boleh ada, tapi tidak boleh memiki tentara, tidak boleh ada apa, yang penting dikasih ekonomi saja,  bukan sebuah negara yang utuh. 

Jadi karena skenario yang break ini,  mereka harus membuat disrupsi yang memungkinkan ada negosiasi ulang.

Ibaratnya melempar dadu juga berarti, Mas?  Yang penting tidak diam?

Kalau menurut saya, karena kondisinya sedemikian dire (buruk) sedemikian parah tadi.  Pilihannya cuma itu, mengambil risiko yang memungkinkan mereka menegosiasikan ulang dengan ‘Israel’ tadi.  Dengan term yang lebih adil,  atau ya malah sekalian habis.  Nah ini yang kemudian kita akan lihat dalam hari-hari ini, taruhannya seperti apa.

Dari yang kita lihat secara sejarah,  negosiasi itu terjadi di beberapa kejadian waktu yang lalu.  Dalam beberapa kasus , ada teritori yang diambil dijadikan sebagai bargaining chips.  Dalam kasus sekarang ini sebenarnya tidak ada teritori yang diambil, tapi ada lebih dari 100 warga ‘Israel’  yang sekarang berada di Gaza,  apakah itu akan menjadi bargaining chips?

Saya kira salah satunya itu, tentu saja.  Tapi kenapa tidak ada wilayah tadi?  Perlu diingat, Gaza itu bukan negara.  Dia tidak punya border, tidak punya kendali penuh atas teritorinya.  Dia adalah wilayah pendudukan (terjajah, red). Sebagai wilayah pendudukan,  dalam hukum internasional, ‘Israel’ memiliki kewajiban memastikan untuk melakukan perlindungan terhadap warga yang ada di dalam pendudukan. 

Tapi yang dilakukan ‘Israel’ justru sebaliknya.  Yang ini penting untuk dipahami.  Sebagai titik awal negosiasinya. Lalu apa?  Karena dia bukan negara,  dia tidak bisa mengambil alih wilayah,  makanya yang dilakukan itu  nyerang sebentar, menduduki sebentar,  lalu dia kembali lagi. 

Karena dia tahu kalau dia stay (tinggal) disitu tidak akan bertahan juga.  Walaupun secara kapasitas militer jauh,  pasti langsung diambil kembali.  Makanya yang dilakukan adalah  Dia (Hamas) sebisa mungkin membawa sandera atau prisoner of war.  Yang secara tradisional dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya, hal itu akan ditukarkan dengan tawanan atau tahanan Palestina di ‘Israel’.

Yang pernah kita lihat, satu tentara ‘Israel’ ditukar 1000 orang?

Ya, ya kerena ‘Israel’ sendiri seenaknya ngambil-ngambil orang, ngambil anak-anak Palestina. Kalau kita baca laporan Amnesty Internasional atau Human Right Watch, ribuan orang –termasuk anak-anak Palestina—diambil saja tanpa prosesn pengadilan. Tapi ini hanya bagian kecil saja.

Poinya, bukan soal sandera. Tapi ini soal disrupsi, ‘Israel’ akan berpikir ulang serangan ke Gaza.

Jadi sekali lagi, Hamas tidak diback-up Syiah?

“Hamas berjuang untuk kemerdekaan. Bahwa ada orang-orang lain, apapun latar belakangnya, yang cukup punya nyali untuk mendukung adalah hal lain,” ujar Sofwan.

Dengan kata lain, kalaupun ada ‘dukungan’ bukan berarti dia sama akidahnya?

Betul.*

Powered by Blogger.
close