Sibuk dan Lelah Memburu Dunia? Mari Menepi Sejenak dan Resapilah ini


SEMUA
 dari kita mengenal “traffic light” alias lampu lalu-lintas. Ada banyak lampu lalu-lintas di kota-kota yang kita singgahi atau tinggal di dalamnya. Di mana pun, ciri dan maknanya sama. Ia terdiri dari tiga lampu berwarna mencolok: merah, kuning, hijau.

Merah berarti berhenti, kuning adalah bersiaga, dan hijau artinya boleh melaju. Semua kita mengerti makna isyarat-isyarat ini, dan secara spontan menyadari apa yang harus dilakukan ketika menemuinya, tanpa memerlukan tulisan maupun komando.

Inilah fungsi tanda-tanda, di mana pun dan sampai kapan pun. Ia menjelaskan sesuatu kepada siapa saja yang berhadapan dengannya, tanpa harus berkata-kata dan tidak memerlukan uraian panjang lebar. Cukup dengan isyarat bersahaja, maka apa yang dikehendakinya sudah terpahami dengan benar.

Di luar lampu lalu-lintas, kita bisa menemui tanda-tanda lain hampir di seluruh bagian hidup kita.

Simbol kilat di sekitar instalasi listrik berarti “awas bahaya, bertegangan tinggi”; wanita yang mengenakan cincin kawin di jari manisnya berarti sudah bersuami; petugas berseragam dengan tanda bintang di pundaknya berarti seorang jenderal; gambar tengkorak dengan tulang bersilang artinya bahan sangat beracun; rumah dengan lampu yang padam di malam hari pertanda penghuninya sudah beristirahat atau tidak ada di rumah; dst.

Demikianlah. Sekarang kita pun mengerti mengapa Allah memasang banyak tanda-tanda atau ayat-ayat. Ada ayat-ayat Allah di dalam diri kita, di alam semesta, di dalam Al-Qur’an, juga pada kisah umat-umat terdahulu.

Semua tanda tanda itu bertugas menjelaskan keberadaan Allah, pemiliknya. Dengan itu Allah hendak menunjukkan keberadaan-Nya, agar hamba-Nya mengerti bagaimana semestinya bersikap dan bertindak.

Karena segala yang ada ini diciptakan oleh Allah, maka sebenarnya semua adalah ayat-ayat-Nya, tanpa kecuali. Mulai dari bagian yang paling sederhana dan sangat akrab di sekitar kita, sampai sistem-sistem rumit yang jauh dan tidak disadari setiap orang.

Oleh karenanya, Al-Qur’an sangat sering menderetkan berbagai hal lalu menegaskannya sebagai ayat-ayat Allah, agar kita sadar dan mengerti. Misalnya, dalam surah Ar-Ruum (30), terdapat tujuh ayat yang diawali dengan kata-kata “wa min aayaatihi” (artinya: dan diantara tanda-tanda-Nya), yaitu ayat ke-20, 21, 22, 23, 24, 25, dan 46.

Bila kita membaca ketujuh ayat ini dengan disertai perenungan, niscaya banyak hikmah yang terpetik darinya. Misalnya, ayat ke-23 berkata:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang, serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan”.

Kita semua pernah tidur, bukan? Tetapi, pernahkan terpikir bahwa tidur merupakan salah satu ayat Allah? Bukankah kita menganggapnya sebagai hal biasa yang tidak perlu dirisaukan?

Padahal, para pakar psikologi mengakui bahwa tidur merupakan misteri kehidupan yang belum benar-benar terpecahkan sampai sekarang. Misalnya, dalam Encyclopaedia Britannica 2004 dikatakan:

“Tidak ada kriteria tunggal dan bisa diterima secara sempurna tentang ‘tidur’. Tidur didefinisikan melalui observasi-konvergen yang memenuhi sejumlah kriteria gerak, saraf, dan fisiologis berbeda.

Terkadang, satu atau lebih dari kriteria ini bisa absen selama tidur atau hadir ketika terjaga, bahkan dalam sejumlah kasus para pengamat selalu mendapati kesulitan kecil untuk memilah kedua kondisi tersebut.”

Dalam rangkaian ayat-ayat surah ar-Ruum di atas, Al-Qur’an juga menekankan bahwa adanya pasangan hidup adalah sebagian dari ayat-ayat Allah. Renungkanlah, bagaimana kita dipertemukan dengan istri/suami kita?

Bagaimana seorang ayah rela melepaskan putri yang disayangi dan dilindunginya selama bertahun-tahun ke tangan seorang pemuda yang baru dikenalnya?

Bagaimana pula keduanya kemudian menjadi sepasang kekasih, lalu hidup bersama dalam suka dan duka?

Sungguh, terlalu banyak misteri yang menyelubungi hubungan pernikahan yang telah kita jalani setiap hari selama bertahun-tahun itu.

Al-Qur’an juga menyitir ayat-ayat Allah lainnya, seperti penciptaan langit dan bumi, keragaman bahasa dan warna kulit umat manusia, kelebat kilat dan sambaran petir, hembusan angin sebelum hujan turun, dst.

Semua ini merupakan pengalaman keseharian yang mudah ditemui, namun betapa sedikit yang menyadarinya sebagai tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah.

Jadi, di sinilah letak masalahnya. Mengapa kita tidak bisa membaca dan memahami tanda-tanda itu, padahal telah digelar sedemikian lama?

Seperti analogi lampu lalu-lintas di muka, kita hanya bisa melihat warna merah – kuning – hijaunya tanda tanda itu, tetapi gagal menangkap makna dan maksud di baliknya. Semua pun terlewatkan begitu saja, seolah-olah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.

Bahkan, ada sebagian orang yang sangat sibuk dan tenggelam menganalisis tanda-tanda, namun samasekali tidak mengerti untuk apa tanda-tanda itu diletakkan di sana. Bisa jadi, ia sangat memahami konstelasi bintang dan susunan galaksi di angkasa, namun tidak merasakan peran Allah di dalamnya.

Mungkin, ia betul-betul pakar di bidang anatomi tubuh, tetapi nama Allah tidak pernah hadir di hatinya ketika menyaksikan seluruh keajaiban penciptaan itu.

Oleh karenanya, Rasulullah mengajari kita untuk berdzikir dalam segala kesempatan dan suasana, agar jiwa kita mudah terpantik oleh percikan-percikan kecil bahan perenungan dalam seluruh fenomena yang ada, lalu menyala dan terhangatkan oleh tasbih, tahmid, dan takbir.

Jika tidak, ia akan terus-menerus padam, gelap, lalu mendingin dan akhirnya beku. Pada kondisi ini, ia akan menjadi tuli, bisu, buta, lalu tidak bisa menemukan kebenaran (Qs. al-Baqarah: 18). Na’udzu billah. Wallahu a’lam.

Ust. M. Alimin Mukhtar

Sumber www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close