Hukum Kerja Sama dengan Non-Muslim dalam Perang
Semana Rasulullah ﷺ pernah terjadi kerja sama perang dan meminta bantuan militer dari pihak non-Muslim
Oleh: Desti Ritdamaya
Dikutip dari laman Hidayatullah.com | SELAMA Operasi Taufan al-Aqsha, ada sebagian kalangan umat Islam rela menuduh dengan jahat pada Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) sebagai kelompok Rafidah, Syiah dll. Alasannya HAMAS diduga mendapat bantuan perang berupa uang dan persenjataan dari Iran.
HAMAS juga dituduh menerima bantuan dari Korea Utara, China atau Rusia. Tuduhan seperti ini ramai jadi bahan ceramah atau komentar-komentar di media massa.
Memang tak dipungkiri, dalam perang membutuhkan biaya besar baik dari alutsista, amunisi, konsumsi, medis dan sebagainya. Ketersediaan alutsista dan amunisi sangat penting dalam perang.
Kekurangan dalam hal tersebut tentu berefek pada jalannya perang. Wajar pengamat politik menilai ketersediaan alutsista, amunisi dan jumlah tentara negara menunjukkan kekuatan militernya.
Selama Rasulullah ﷺ berdakwah di Madinah (10 tahun), terjadi 64 perang melawan musuh-musuh. Baik perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah ﷺ (ghazwah) maupun dipimpin para shahabat (sariyyah).
Dalam Islam, kemenangan perang tak lah bergantung pada persenjataan dan jumlah pasukan. Tapi lebih kepada ketakwaan pasukan yang mendatangkan pertolongan Allah.
Tapi kewajiban bagi muslim untuk mempersiapkan persenjataan untuk menggentarkan pihak musuh. Allah SWT berfirman :
وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al Anfal ayat 60).
Dalam perang, jumlah senjata dan pasukan kaum Muslim sering kalah dengan musuh. Sehingga tercatat dalam sejarah Rasulullah ﷺ bekerja sama dengan non-Muslim dalam perang, yaitu :
Pertama, menerima dan meminta bantuan perang
Dalam Perang Uhud, kaum kafir Quraisy mempersiapkan secara matang pasukan dan senjata. Karena ambisi besar mereka untuk balas dendam terhadap kekalahan pada Perang Badar.
Ambisi besar mereka merebut kembali kemenangan. Quraisy mempersiapkan 3000 pasukan lengkap dengan persenjataan, sedangkan kaum muslim hanya 700 pasukan yang bertahan dan persenjataan seadanya.
Hal ini jelas tak seimbang jumlah pasukan dan senjata antara kaum muslim dengan kafir Quraisy.
Dalam perang ini ada seorang pendeta Yahudi Qainuqa yaitu Mukhairiq yang membantu Rasulullah ﷺ baik materiil maupun moril. Dia kaya raya, memiliki kebun kurma terbentang luas di Madinah.
Dia mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ dan shahabat berada dalam kebenaran. Rasulullah ﷺ pun menerima bantuannya untuk biaya perang dan kehidupan sehari-hari.
Tak hanya itu dalam perang ini, Kazman yang musyrik secara sukarela berperang bersama Rasulullah ﷺ. Bahkan dia berhasil membunuh tiga orang dari dari Bani Abdiddar yang membawa bendera orang-orang Musyrik.
Dalam Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah ﷺ meminta bantuan Basyar bin Sufyan al-Khuza’iy yang masih musyrik melakukan spionase di tengah-tengah kafir Quraisy. Selanjutnya dia melaporkan informasi yang didapatkan kepada Rasulullah ﷺ.
Pun sama dengan kebijakan Rasulullah ﷺ dalam perang Hunain. Jumlah pasukan dan persenjataan kabilah Hawazin dan Tsaqif dua kali lipat dari kaum muslim.
Rasulullah ﷺ meminjam 30 atau 40 baju besi dan perlengkapannya pada Shafwan bin Umayyah pemimpin Bani Jumah. Beliau saat itu masih kafir. Bahkan Beliau tak segan ikut berperang membantu Rasulullah ﷺ.
Kedua, mempelajari sains teknologi dan strategi perang
Untuk menghadapi Perang Thaif tahun 8 H, Rasulullah ﷺ memerintahkan Salman al Farisi untuk membuat manjanik (pelontar batu) dan dababah (pendobrak pintu benteng).
Bahkan Rasulullah ﷺ memerintahkan Urwah bin Mas’ud dan Ghailan bin Salamah mempelajari manjanik dan dababah di Jarasy Syam di bawah kekuasaan Romawi.
Untuk menghadapi Pasukan Ahzab dalam Perang Khandaq, Rasulullah ﷺ mengambil pendapat Salman al Farisi terkait strategi perang. Yaitu menggali parit lebar dan dalam di muka pagar Kota Madinah sebagai basis pertahanan kaum Muslim.
Strategi ini biasa digunakan oleh Persia (kampung halaman Salman al Farisi) dalam perang. Sehingga dapat dikatakan Rasulullah ﷺ mengadopsi strategi perang dari non-Muslim.
Ketiga, melakukan aqad ijarah dalam perang
Nyawa Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar as Shiddiq terancam saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Kafir Quraisy menggelar sayembara akan memberikan imbalan 100 ekor unta bagi yang menemukan Rasulullah ﷺ.
Untuk mengatasi ini, Rasulullah ﷺ menyewa (aqad upah) seorang kafir bernama Abdullah bin Uraiqidh memandu perjalanan arah berbeda dari biasanya yang tak diperkirakan kafir Quraisy.
Keempat, melakukan perjanjian sekutu dengan non-Muslim
Bani Hasyim dengan Kabilah Khuza’ah terlah terjalin perjanjian sekutu sejak zaman jahiliyah. Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah tetap mempertahankan perjanjian tersebut.
Pertengahan tahun 623 M terjadi perang di Waddan (jalur perdagangan dari arah Mekkah dan Syam). Dalam perang ini Quraisy bersekutu dengan Bani Dhamrah. Rasulullah ﷺ pun sama mengadakan sekutu dengan suku-suku di sekitar jalur perdagangan ini.
Dari perbuatan Rasulullah ﷺ tersebut, secara hukum fiqih boleh muslim bekerja sama dengan non-Muslim dalam perang. Baik menerima meminta bantuan militer; membeli menyewa meminjam militer; belajar militer; kontrak militer; persekutuan militer dan sebagainya.
Kerja sama tersebut tanpa syarat, maksudnya kerja sama yang tak bertentangan dengan akidah atau melanggar syari’at Islam. Karena setiap syarat yang menyalahi akidah dan syari’at Islam adalah batil.
Dengan landasan ini, hubungan rasional muslim dengan non-Muslim yang mendatangkan mashlahat pada kaum muslim tak dipermasalahkan. Wallahu a’lam bish-shawabi.*
Praktisi Pendidikan
Post a Comment