Psy-War di Tahun Politik



Jumlah pengguna internet naik mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023, siap-siaplah “berkelahi” dengan berita bohong

Oleh: Mustofa B Nahrawardaya

Dari laman Hidayatullah.com | ALKISAH Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman kekuasaan Hitler. Suatu saat pendukung utama Hitler ini memerintahkan kepada pasukannya agar terus-menerus menyebarkan kebohongan.

Politikus Jerman ini yakin, kebohongan yang terus-menerus diucapkan, ditulis, dan diteriakkan kepada publik, pada akhirnya akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Akibat dari kerja sistematis ini, dunia kemudian mengenal adanya istilah genocide (pemusnahan massal) yang dilakukan terhadap Yahudi, oleh pasukan Nazi.

Hitler melalui Nazi berhasil mempengaruhi dunia, untuk mengusir, bahkan membantai Yahudi dimanapun mereka berada. Di kemudian hari, teknik pembohongan publik yang dilakukan Goebbels ini dikenal sebagai teknik “argentums ad nausem” atau teknik “big lie” yang menyebabkan pria kelahiran 29 Oktober 1897 itu kemudian dijuluki Bapak Kebohongan Dunia.

Sebelum mengakhiri hidupnya, Goebbels bersama istrinya, Magda, pada 1 Mei 1945 terlebih dahulu meracuni keenam anaknya menggunakan pil sianida. Dengan alibi tidak ingin keenam anaknya hidup di lingkungan Nazi, Goebbels dan istrinya meminumkan obat tidur kepada anak-anaknya. Keduanya kemudian bunuh diri.

Propaganda kebohongan terus-menerus Goebbels itu menghasilkan sejarah panjang penjajahan Yahudi terhadap Palestina. Dunia menjadi serba salah untuk mendamaikan konflik ini, antara membiarkan Yahudi bercokol di bumi Palestina dengan sejuta kisah memilukan di sana, atau mengusir Yahudi dari area konflik, yang juga sulit untuk dilakukan.

Jebakan Psy-War

Jozef Goebbels telah menjadi contoh sejarah tentang psy-war (perang urat syaraf). Dia berhasil memicu sebuah peperangan panjang.

Ternyata aksi saling bunuh antar manusia tidak harus dengan menggunakan alat perang canggih atau peralatan serba besar. Cukup dengan menebar kebohongan, menebar fitnah, dan menebar kebencian kepada publik, maka mesin perang modern pun akan otomatis bekerja.

Kini, lebih dari 70 tahun setelah Goebbels mati, praktek psy-war makin menjadi-jadi. Variannya pun semakin banyak, dan korbannya semakin tidak terbendung [MN1] .

Hampir setiap hari, korban dari praktek psy-war selalu ada. Setidaknya, kita dapat menyaksikannya betapa mudahnya masyarakat mempercayai sebuah informasi yang tidak jelas darimana sumbernya.

Oleh karena itu, banyak pengguna media sosial –yang tidak faham propaganda model ini– terjebak oleh permainan psy-war pihak tertentu sehingga ada saja yang karena kekhilafannya, mereka harus rela masuk penjara.

Fenomena ini tampaknya akan semakin kuat menjelang hajatan nasional bernama Pemilu. Pihak tertentu yang tidak ingin dirugikan karena kekuasaan yang hilang, tampaknya akan terus menggunakan situasi yang ada, sebagai kesempatan untuk kembali berperang menggunakan teknik psy-war.

Persoalan yang selama ini muncul adalah, perang urat syarat selalu saja dijejali dengan aksi tipu-tipu informasi pada pihak lawan. Akibat aksi tipu-tipu dan kebohongan publik inilah, kita kemudian tidak bisa menikmati Pemilu yang elegan.

Dalam Pemilu 2014 lalu fenomena serupa sudah terjadi. Ribuan orang dikirimi paket majalah, buku, dan tabloid yang berisi berita dan dokumen miring terkait dengan Capres Prabowo-Hatta.

Entah dari siapa, tiba-tiba paket sudah ada di depan pintu. Anehnya, setelah Pemilu usai dan Prabowo kalah, salah satu pemimpin redaksi tabloid yang ikut dikirim ke rumah-rumah itu belakangan menjadi komisaris sebuah BUMN.

Sebuah kelompok siber juga turut mengantar kemenangan salah satu peserta Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Mereka juga diduga telah menggunakan teknik-teknik psy-war negatif. Belakangan, ternyata ada yang mendapat “hadiah” sebagai komisaris BUMN dan BUMD.

Kenyataan itu memunculkan dugaan bahwa teknik psy-war dalam Pilkada dan Pemilu seolah telah menjadi kelaziman dan kebutuhan pihak tertentu. Pasalnya, hal itu terbukti dapat mengantarkan pada kemenangan.

Otak dan pelakunya bahkan akan mendapatkan reward berbentuk kursi jabatan.

Namun dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, tampaknya teknik psy-war kurang banyak membantu. Salah satu penyebabnya, banyak kubu yang telah mempelajari teknik tersebut. Setiap pasangan saling “berkelahi” menggunakan teknik psy-war.

Belajar dari fenomena 2012, 2014, dan 2017, maka Pilkada serentak tahun 2018 terjadi perubahan signifikan. Partai politik yang semula dominan memenangi Pilkada, kini terpaksa gigit jari.

Jagonya banyak yang bertumbangan. Meski demikian, kuat dugaan bahwa psy-war akan terus dilanjutkan dengan sekian banyak varian baru.

Menyasar Generasi Milenial

Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet (APJII) tahun 2017 setidaknya memberikan gambaran bahwa wahana dunia internet tidak pernah turun quantity user-nya. Oleh karena itu, banyak pihak akan terus menggunakan wahana maya ini untuk bermain menggunakan wilayah yang tak terbatas.

Pada tahun 2012 pengguna internet di Indonesia hanya 63 jutaan. Tetapi pada 2014 meroket hingga mencapai 88,1 juta. Bahkan tahun 2017, atau hanya 3 tahun setelahnya, penggunanya sudah mencapai 143 jutaan.

Pengguna naik mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah ini meningkat 2,67% dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna.

 Berdasar data itu, kuat dugaan para pemain psy-war tidak akan menyia-nyiakan peluang. Apalagi, APJII juga menemukan fakta bahwa user (pengguna) internet terbesar di Indonesia berada pada rentang usia 19-34 tahun alias generasi milenial yang biasanya masih mudah dipengaruhi.

Lebih spesifik lagi, hobi para user internet yang diteliti APJII ternyata memang 89,35%-nya adalah penikmat layanan chatting dan 87,13% dari seluruh user adalah menggunakan media sosial sebagai gaya hidupnya. Semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi jelas tidak akan tinggal diam.

Maka, siap-siaplah “berkelahi” melawan banyak berita bohong dan mungkin juga abu-abu. Akan banyak upaya pencampuran antara haq dan bathil dalam rangka mencapai tujuan politik.

Alhamdulillah, Allah SWT telah melarang kita mencampuradukkan antara yang haq dan bathil. Bahkan kita dilarang menutupi kebenaran jika kita mengetahui itu sebuah kebenaran. (al-Baqarah [2]: 42).

Dengan situasi carut marut akhir zaman ini, tentu kita harus menang menghadapi apapun bentuk kebathilan. Al-Qur’an sudah memastikan bahwa yang haq pasti akan menang, dan yang bathil pasti akan lenyap. (Al-Isra’ [17]: 81).Juru Bicara Partai Ummat

Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi  https://dakwah.media/
Powered by Blogger.
close