Beberapa Mudharat Demokrasi


Demokrasi yang dianggap sebagai sistem terbaik saat ini masih banyak mudharatnya

Oleh: Ali Mustofa Akbar

Dikutip dari Hidayatullah.com | PLATO dalam bukunya “Republik” mengkritik demokrasi. Dia berpendapat bahwa demokrasi cenderung menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil dan tidak efisien karena keputusan diambil berdasarkan keinginan mayoritas, bukan kebijaksanaan atau pengetahuan sebenarnya”.

Demokrasi, sebuah konsep yang dianggap sebagai sistem pemerintahan terbaik di era ini, seringkali diromantisasi sebagai bentuk tertinggi dari partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik.

Namun, di balik lapisan glamor itu, terdapat realitas yang tidak menggembirakan. Bahkan menurut sejarahnya, di dalam perjalanan menuju keadilan dan kesetaraan, demokrasi menyimpan beragam kekurangan dan bahaya yang mengintai.

Sebelumnya, perlu kita memahami duduk masalah dari demokrasi ini.

Apa Itu Demokrasi?

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lahir dari akidah sekulerisme (memisahkan agama dengan kehidupan publik). Akidah sekulerisme sendiri lahir dari peradaban Barat hasil kawin silang antara pihak gerejawan yang menghendaki aturan agama vs pihak pemikir Barat yang menginginkan penihilan aturan agama.

Walhasil mereka sepakat bahwa urusan agama untuk ibadah, sedangkan urusan publik menggunakan aturan manusia.

Dari sekulerisme ini lahir sistem ekonomi bernama kapitalisme, budaya hedonisme, sistem pemerintahan demokrasi, politik opurtunisme, dan seterusnya.

Kemudian semua itu terangkum sebagai ideologi kapitalisme. Penamaan kapitalisme karena ideologi yang dominan dalam sistem ini adalah sektor ekonominya.

Jadi, asas demokrasi adalah sekulerisme. Berpijak pada prinsip  mendasarnya ialah kedaulatan di tangan rakyat.

Slogannya: “dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.”. Praktiknya rakyat yang kemudian memilih wakil rakyatnya untuk memakili mereka dalam memembuat hukum dan mengatur kehidupan mereka bersama eksekutif dan yudikatif. Inilah pemahaman mendasar dari demokrasi.

Prinsip Islam

Begitulah memandang demokrasi adalah sebuah sistem yang khas. Dimana ini jelas berseberangan dengan Islam yang menyerahkan kedaulatan adalah di “tangan” Allah, sang pembuat hukum adalah Allah dan kekuasaan pemerintahan di tangan manusia yang menjalankan hukum Allah.

Terkait kedaulatan ini, para ulama sepakat akan hal itu. Ada ulama yang membolehkan tetapi bukan konteks kedaulatan dan sistemiknya, melainkan lebih tepatnya kepada sub-sistemnya; seperti musyawarah, kebolehan rakyat memilih pemimpinnya,  keabsahan muhasabah lil hukam, dst.

Misalkan kita ambil contoh pendapat Syaikh Qardhawi Rahimahullah. Beliau berpendapat; “Negara yang dibangun oleh Islam adalah: negara madani bersumberkan Islam, negara Internasional, negara konstitusional berdasarkan syariat, negara musyawarah bukan kerajaan, negara petunjuk bukan negara pengumpul harta, negara pelindung kaum dhuafa, negara hak asai dan kebebasan, negara prinsip dan moral.” (Qardhawi, Fikih Negara, hal. 29).

Acapkali umat salah paham mengenai sub-sistem ini, karena meskipun ada musyawarah dalam sistem Islam, tetapi tidak semua harus dimusyawarahkan sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Contohnya: dalam zina itu jelas keharamannya dalam Islam tak perlu dimusyawarahkan dulu, namun dalam demokrasi perlu dimusyawarahkan terlebih dahulu hasil keputusannya.

Lebih rincinya, pengambilan pendapat untuk pelegislasian UU pada sistem Islam bisa diklasifikasikan sebagai berikut: Perkara-perkara yang menyangkut hukum syara’ maka UU nya ditetapkan berdasar kekuatan dalil syara’.

Perkara yang menyangkut keahlian dan pengetahuan, ditetapkan kepada orang ahli dibidang tersebut. Sedangkan masalah tehnis, bisa dengan suara mayoritas (voting).

Bagaimana Memilih Pemimpin?

Mengenai pemilihan pemimpin, dalam sejarahnya ada beberapa mekanisme; di masa Khalifah Abu Bakar adalah dengan perwakilan dan musyawarah, pada masa Khalifah Umar melalui penunjukkan dan pada masa Khalifah Utsman via majelis syuro, dll.

Dijelaskan para ulama, beberapa macam pemilihan itu sah secara syar’i sebagai mekanisme pemilihan pemimin, dengan tetap pada pondasi utamanya ialah para pemimpin tersebut memimpin dengan kitabullah dan sunnah Nabi ﷺ  atau yang terkandung di dalamnya.

Beberapa waktu mencermati tulisan para penulis muslim di antaranya di hidayatullah.com,  kebanyakan penulis masih fokus kepada kriteria pemimpin sebagai personal, namun tidak menyertakan dengan hukum apa ia akan memimpin. Padahal ini tidak kalah penting.

Ayat Al-Quran yang mulai semakin jarang disampaikan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُولَبِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ [المائدة: 44]

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَبِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ [المائدة: 45]

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَبِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [المائدة: 47]

“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS al-Maidah: 44)

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS al-Maidah: 44)

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik (QS al-Maidah“: 44)

قال ابن مسعود والحسن: هي عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْيَهُودِ وَالْكُفَّارِ أَي مُعْتَقِدًا ذَلِكَ وَمُسْتَحِلًّا لَهُ، فَأَمَّا مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ وَهُوَ مُعْتَقِدٌ أَنَّهُ رَاكِبُ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مِنْ فُسَّاقِ الْمُسْلِمِين (تفسير القرطبي)

Ibnu Masud dan Hasan Al Bashri berkata: “Ayat ini berlaku secara umum bagi semua orang yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, baik orang Muslim, Yahudi, dan orang-orang kafir, yaitu mereka yang menyakininya dan menganggap hal itu diperbolehkan. Adapun orang yang melakukan itu, namun dia (masih) meyakini bahwa dia melakukan hal yang diharamkan adalah orang muslim yang fasiq” (Tafsir al-Qurthubi).

Mudharat

Secara fakta di lapangan, kita akan mendapati banyak mudharat akibat sistem demokrasi ini, di antaranya:

Pertama, polarisasi Masyarakat

Salah satu bahaya yang sering terjadi adalah polarisasi masyarakat. Demokrasi yang konon dapat memperkuat persatuan sering kali menjadi medan kepentingan politik yang memecah belah masyarakat.

Alih-alih membangun konsensus, demokrasi justru memperdalam jurang antara kelompok-kelompok yang berbeda, termasuk antar kelompok sesama muslim.

Kedua, syarat manipulasi

Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/

Demokrasi juga rentan terhadap manipulasi dan korupsi. Para politisi yang tidak bermoral dapat memanfaatkan sistem demokrasi untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Uang dan kekuasaan jamak menjadi alat untuk memenangkan pemilihan dan mengontrol proses politik, menyebabkan terjadinya distorsi dalam representasi publik.

Ketiga, ketidakstabilan politik

Tidak hanya itu, demokrasi menimbulkan ketidakstabilan politik. Dengan terlalu banyaknya partai politik dengan latar belakang kepentingan maupun ideologi, dan kekuatan yang terfragmentasi, pemerintahan yang efektif menjadi sulit dicapai.

Keempat, jebakan aktivis muslim

Demokrasi senantiasa memberikan harapan bagi para aktivis muslim serta dianggap oleh  sebagian umat sebagai jalan menegakkan Islam yang paling relevan untuk saat ini. Namun manakala kita telaah secara mendalam, demokrasi punya cara tersendiri untuk melakukan jebakan.

Beberapa bentuk jebakan dalam sistem demokrasi di antaranya membuat aktivis atau kelompok Islam menjauhi sikap idealisme Islam mereka, dipaksa kompromi dengan kebatilan, jika meskipun menang maka sistem ini akan berkerja untuk meruntuhkan kepemimpinannya sebagaimana kasus di Al-Jazair dan Mesir. Kecuali jika terus mau berkomromi dengan kebatilan.

Karena itu, umat harus semakin menyadari akan hal ini. Tiada yang lebih baik kecuali sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan untuk Indonesia yang lebih baik.

Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk meraihnya sebagaimana yang dicontohkan Nabi ﷺ dijelaslan kitab Nidzam Al-Islam ialah: 1. Tatsqif (pembinaan), 2. Tafa’ul ma’al ummah (berinteraksi dengan umat), 3. Tathbiqussyariah (penerapan aturan-aturan Islam secara kaffah) dengan thalabun nushrah (adanya backing dari pemilik kekuatan di tengah umat sebagaimana suku Auz dan Khazraj menolong Nabi ﷺ untuk menegakkan negara Islam perdana di Madinah Al-Munawarah).

Tiap perubahan yang merubah dunia, bermula dari pemikiran yang cemerlang. Pemikiran menjadi bibit, lalu ia tumbuh menjadi keyakinan. Hingga akhirnya berkembang menjadi tindakan untuk melakukan perubahan. Dengan setiap pikiran yang dipupuk dengan baik, dunia menemukan jalan baru menuju kebangkitan dengan Islam. Biidznillah.Wallahu A’lam.*

Pemerhati Politik

Powered by Blogger.
close