Memaknai Ikhtilaf Pemikiran dan Cara Menyikapinya
IKHTILAF dalam pemikiran adalah perkara yang tidak bisa dihindari. Akal manusia tidak mampu mengingkari akan hal ini, karena dalam kenyataannya ikhtilaf itu ada.
Sedangkan syara’ juga tidak melarangnya, terbukti adanya ikhtilaf di kalangan sahabat, tabi’in setelah itu atba’ tabi’in dan yang paling nyata adalah adanya madzhab-madzhab fiqih dalam Islam.
Ikhtilaf Sejak Masa Salaf
Mengenai ikhtilaf para di kalangan sahabat, para ulama salaf sama sekali tidak melihat hal itu tercela, bahkan hal itu dinilai positif oleh mereka. Imam Al Qasim bin Muhammad seorang ulama tabi’in menyatakan:
“Benar-benar Allah telah memberi manfaat dengan ikhtilafnya para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam amalan mereka. Tidaklah beramal orang yang mengamalkan amalan yang dilakukan oleh seorang dari mereka (sahabat), kecuali ia melihat hal itu adalah bentuk kelonggaran. Dan ia melihat bahwa orang yang lebih mulia daripadanya telah melaksanakannya”. (Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi, 2/80)
Aun bin Abdillah, juga ulama tabi’in menyatakan:
”Aku tidak menyukai (jika) sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak berikhtilaf. Sesungguhnya mereka jika sepakat atas suatu hal dan hal itu ditinggalkan oleh seseorang, maka ia telah meninggalkan sunnah. Kalau mereka berselisih kemudian seseorang mengambil salah satu dari pendapat mereka (para sahabat), ia telah menempuh sunnah”. (Sunan Ad Darimi, 1/151)
Ikhtilaf adalah Kekhususan Umat Rasulullah
Bukan hanya merupakan hal yang lumrah di kalangan salaf, para ulama melihat bahwa ikhtilaf adalah bagian dari kekhususan umat ini.
Imam As Suyuthi menyatakan bahwa para sahabat yang mana mereka adalah sebaik-baik umat berbeda pendapat satu sama lain dalam masalah furu’, namun mereka tidak mengingkari satu sama lain, tidak menuduh yang lain salah atau memiliki keterbatasan.
”Maka diketahui bahwa ikhtilaf madzhab-madzhab yang ada dalam millah ini kekhususan dan keutamaan untuk umat ini”. (lihat, muqaddimah Jazil Al Mawahib fi Ikhtilaf Al Madzahib)
Imam Al Qashtalani juga menyampaikan:
”Dari kekhususan umat ini- umat pengikut Rasulullah- adalah ijma’ mereka adalah hujjah sedangkan ikhtilaf mereka adalah rahmah”. Dan menurut Al Hafidz Az Zurqani, hal itu dalam masalah furu’. (Syarh Al Mawahib Al Laduniyyah, 5/468)
Dari ungkapan para ulama tersebut, kita bisa memahami bahwa mereka tidak melihat perselisihan dalam masalah furu’ merupakan hal yang negatif. Bahkan justru sebaliknya, mereka melihat itu adalah hal yang positif.
Macam-macam Ikhtilaf
Ikhtilaf dalam pemikiran terjadi di berbagai bidang dan wilayah yang cukup luas. Sehingga para ulama pun mengklasifikasikannya dan menjelaskan mana ikhtilaf yang bisa ditolelir dalam Islam, sebagaimana yang digambarkan dalam penjelasan di atas.
Imam Al Ikhaththabi membagi beberapa macam ikhtilaf:
Ikhtilaf dalam penetapan adanya pencipta dan keesaan-Nya, maka ikhtilaf di sini menyebabkan kekufuran. Sedangkan ikhtilaf mengenai sifat pencipta dan kehenda-Nya maka hal ini adalah bid’ah, sebagaimana ikhtilaf kaum khawarij dan rawafidh mengenai status keislaman sejumlah sahabat.
Adapun ikhtilaf mengenai hukum ibadah yang memungkinan adanya perbedaan, maka Allah menjadikannya mudah dan rahmat dan kemuliyaan bagi ulama. (A’lam Al Hadits, 1/219-221)
Perkara yang Masuk Ikhtilaf Tidak Boleh Dinggap Kemungkaran
Ikhtilaf nomor tiga inilah, tidak boleh manusia menganggapnya sebagai kemungkaran. Dimana para ulama telah membuat qaidah la yungkaru al mukhtalaf fih, wa inama yungkaru al majma’ ‘alaihi (tidak boleh diingkari masalah-masalah yang terdapat khilaf di dalamnya, pengingkaran hanya terdapat pada masalah- yang telah disepakati hukumnya). (lihat, Ihya Ulum Ad Din,2/253, Al Asybah wa An Nadzair,1/341).
Dalam hal ini, ulama salaf Imam Ats Tsauri juga menyampaikan:
”Jika kalian melihat seseorang melakukan amalan yang itu diperselisihkan sedangkan engkau berpendapat lain (dari amalan itu) maka jangan engkau larang ia”. (Al Faqih wa Al Mutafaqih, 2/69)
Demikian juga ulama salaf lainnya Imam Al Auzai menyampaikan dalam hal batal atau tidaknya wudhu karena mencium istri, ”Jika ada seseorang datang dan bertanya kepadaku, maka aku katakan ia harus wudhu. Namun jika ia tidak wudhu aku tidak mencelanya!” (Al Istidzkar, 1/323)
Sebab itulah mereka yang hendak mengubah kemungkaran harus memiliki pengetahuan mengenai khilaf para ulama, sehingga tidak sampai mengingkari perkara-perkara yang diperselisihkan oleh para ulama.
Kapan Pendapat Dihitung Sebagai Masalah Ikhtilaf?
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai apakah semua pendapat bisa dimasukkan ke ranah ikthtilaf atau tidak.
Imam As Syatibi menyatakan bahwa ada pendapat-pendapat yang sebenarnya tidak dihitung sebagai perkara ikhtilaf yang ditolelir.
Dan, para fuqaha menyebutnya bukan agar dihitung sebagai perkara ikhtilaf, namun sebagai bentuk peringatan. Pendapat yang tidak bisa dimasukkan dalam ranah ukhtilaf antara lain:
- Menyelisihi nash sharih, sebab itu hukum qadhil batal jika ia menyelisihi ijma atau nash secara sharih.
- Bukan hasil dari ijtihad mujtahid.
- Bukan masalah yang boleh ijtihad terhadapnya.
- Sebagaimana para salaf juga tidak mengitung sebagai masalah khilafiyah terhadap beberapa masalah seperti masalah riba fadhl dan nikah muth’ah.
Namun perlu diketahui bahwa tidak sembarang pihak bisa mengklasifikasi apakah perkara itu dianggap masalah ikhtilaf yang bisa ditolelir atau tidak, karena hal itu adalah tugasnya para mujtahid. Di bawah derajat itu tidak memiliki kemampuan mengklasifikasikannya. (lihat, Al Muwafaqat, 4/172,173)
Walhasil, siapa saja tidak bisa dengan mudah-mudah mengingkari perkara-perkara yang diperselisihkan hukumnya.
Jika itu dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki syarat yang cukup hingga tidak bisa membedakan mana yang harus diingkari mana yang tidak maka akibatnya akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Thoriq | Hidayatullah.com
Sumber www.hidayatullah.or.id
Post a Comment