Rahmah Allah dan Teladan Sahabat Nabi dalam Sikap Pertengahan
Oleh Ustadz Alimin Mukhtar
ADA BANYAK rahmat Allah yang tercurah tanpa kita memintanya, sebagai perwujudan nama-Nya yang mulia, “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”.
Komposisi sinar matahari, rasio oksigen terhadap gas-gas lain di atmosfer, atau jarak relatif bumi ke matahari, semua ini hanyalah sekelumit sampel dari rahmat Allah yang tidak pernah kita minta.
Akan tetapi, ada pula rahmat yang digantungkan kepada sebab-sebab tertentu. Ia tidak akan diberikan kecuali bila syarat-syaratnya dipenuhi.
Dengan kata lain, kita diharuskan bekerja keras untuk menarik simpati dan perhatian Allah agar bersedia menurunkan rahmat-Nya. Dan, pada kenyataannya seluruh bagian syariat Islam adalah sarana untuk mengejar turunnya rahmat itu.
Bahkan, sebenarnya kita pun hanya bisa masuk surga berkat rahmat-Nya, bukan karena amal-amal kita. Kenikmatan surga terlampau mewah untuk ditukar dengan kualitas amal manusia yang seringkali bopeng di sana-sini oleh pamrih, kemalasan, riya’, kelalaian, keterpaksaan, dsb.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berusahalah untuk tepat dan mendekati (amal terbaik), dan bergembiralah! Sungguh, tidak seorang pun yang dibuat masuk surga oleh amalnya.”
Para Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga saya, kecuali jika Allah melimpahi saya dengan rahmat-Nya. Beramallah kalian, karena sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu, meskipun hanya sedikit.” (Riwayat Muslim, dari ‘Aisyah).
Dalam riwayat lain, dikatakan: “Tidak seorang pun yang diselamatkan oleh amalnya.” Para Sahabat bertanya, “Tidak juga Anda, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Tidak juga saya, kecuali jika Allah melimpahi saya dengan rahmat-Nya. Berusahalah untuk tepat dan mendekati (amal terbaik)! Beramallah di pagi hari, siang hari, dan sebagian dari penghujung malam! Bersikaplah pertengahan dalam beramal! Bersikaplah pertengahan dalam beramal! Niscaya kalian akan sampai (kepada tujuan).” (Riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah).
Begitulah jalan satu-satunya. Kita harus beramal semaksimal yang kita mampu: pagi, siang, malam. Kita juga harus berusaha untuk kontinyu, mempersembahkan yang terbaik, dan tidak ekstrim.
Rasulullah sangat menekankan sikap pertengahan alias sedang-sedang saja ini. Sebab, sikap pertengahanlah yang dapat menjaga ketersediaan energi mental di sepanjang perjalanan yang melelahkan ini, sehingga kita tidak drop sebelum sampai ke tujuan.
Oleh karenanya Rasulullah mengingatkan kita agar tidak memperketat agama melebihi apa yang sudah disyariatkan.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah/ringan. Tidak seorang pun yang memperberat agama ini melainkan ia pasti akan dikalahkannya. Bersikaplah pertengahan dan berusahalah mendekati (yang terbaik). Manfaatkanlah waktu-waktu pagi, sore, dan sebagian dari akhir malam (untuk membantu meraih keajegan dalam beribadah).” (Riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah).
Sungguh, simpati-Nya tidak dapat diraih dengan ghuluw (berlebihan, ekstrim). Bahkan, Allah membencinya. Siapa saja yang memberati dirinya sendiri dengan apa yang tidak dituntunkan Al-Qur’an dan Sunnah, suatu saat akan ambruk kehabisan daya.
Ia akan mengalami futur (kendor, jenuh). Tentu saja kondisi begini sangat rawan, bahkan mengerikan. Bagaimana jika habisnya energi itu justru di saat-saat terakhir kehidupan, sehingga mengakibatkan su’ul khatimah? Na’udzu billah!
Para Sahabat Nabi merupakan contoh terbaik dari sikap pertengahan ini. Mereka adalah kaum yang kehebatan amalnya tidak terletak pada kadarnya yang menakjubkan, tetapi pada ketulusan dan keistiqamahannya yang luar biasa.
Sangat boleh jadi ada orang-orang dari generasi berikutnya yang mengerjakan shalat, berpuasa, atau berinfak lebih banyak dibanding para Sahabat, namun mereka tidak sanggup mengejar apalagi mendahuluinya.
Rasulullah bersabda, “Jangan mencela Sahabat-sahabatku! Jangan mencela Sahabat-sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa mengejar satu mud infak mereka, tidak juga setengahnya.” (Riwayat Bukhari dari Abu Sa’id, dan Muslim dari Abu Hurairah). Satu mud sendiri kira-kira setara dengan 6,75 ons atau 675 gram.
Sangat wajar kiranya jika Ibnu ‘Umar berkata, “Barangsiapa yang ingin mengambil teladan, maka hendaklah ia meneladani orang yang sudah meninggal. Mereka itulah para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah sebaik-baik umat ini; orang-orang yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit memaksakan diri. (Mereka adalah) suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk mendampingi Nabi-Nya dan menyebarkan agama-Nya. Maka, contohlah akhlak dan jalan hidup mereka. Mereka adalah para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, I/305).
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Barangsiapa diantara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah ia meneladani para Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit memaksakan diri, paling lurus perilakunya, dan paling baik keadaannya. (Mereka adalah) suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk mendamping Nabi-Nya, maka akuilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak langkah mereka, sebab sungguh mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, II/947; dan al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, I/214).
Sikap ekstrim sendiri bisa tampil dalam dua manifestasi yang saling bertentangan. Pertama disebut Ifrath (melampaui batas atau berlebihan), dan kedua disebut Tafrith (teledor atau sangat kurang dari sewajarnya). Tentu saja, simpati Allah tidak bisa diraih melalui keduanya. Wallahu a’lam.
Sumber www.hidayatullah.or.id
Post a Comment