Sempurnanya Ajaran Islam Mengajarkan Pendidikan Seks pada Anak


SEORANG
 guru bimbingan dan konseling (konselor) bercerita, bahwa ia pernah diundang menghadiri acara terkait pembinaan remaja usia sekolah. Salah satu tema yang diangkat adalah penanggulangan HIV/AIDS.

Namun, ia menjadi jengah, jijik, dan protes sebab salah satu langkahnya adalah “pacaran sehat” dan penggunaan kondom. Ia semakin jijik sebab pada sesi itu juga ditampilkan gambar-gambar cara memasang kondom pada alat peraga (maaf) penis buatan!

Ketika diprotes atas pertimbangan-pertimbangan moral dan agama, sang narasumber justru berkilah bahwa berhubungan intim merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi undang-undang.

Menurutnya, pertimbangan agama tidak bisa dipakai, padahal ia sendiri seorang muslimah dan berjilbab. Ia enggan merujuk asas-asas keagamaan (Islam) dan lebih memilih HAM. Astaghfirullah!

Tentu saja, ini sangat memprihatinkan. Tampaknya, narasumber ini percaya kepada tuduhan-tuduhan bahwa Islam tidak memiliki konsep pendidikan seks.

Namun, masalah sebenarnya terletak pada definisi dan cara pandang. Para pengkritik ini berharap menemukan pernyataan eksplisit dalam Islam tentang cara bersebadan dan bagaimana mengajarkannya kepada anak, apa resiko-resikonya, juga hal-hal lain terkait proses biologis dan organ reproduksi.

Sebenarnya, Islam telah mengajarkan tema-tema itu, dalam usia lebih dini dan dengan cara-cara yang sangat santun. Perhatikanlah kitab-kitab fiqh, dan bacalah ulasan-ulasan para ulama’ dengan sabar. Anda akan menemukan bagaimana Islam menjabarkannya. Banyak sekali bab fiqh yang secara spesifik ditulis di atas asumsi adanya fakta-fakta jenis kelamin yang berbeda ini.

Diantaranya adalah kajian tentang tahap-tahap perkembangan manusia, terutama pada usia balig. Disini, tidak hanya diulas tanda-tandanya tetapi sekaligus apa konsekuensi hukum syariatnya. Bagian ini saja sudah membedakan cara pandang psikologi sekuler (Barat) dengan konsep Islam seputar tahap-tahap perkembangan manusia.

Segera setelah seseorang memasuki usia balig, psikologi sekuler akan bicara tentang kematangan seksual dan kesiapan reproduksi, sebuah tema yang khas materialisme dan sekedar “di permukaan”. Inilah yang melatarbelakangi ide pendidikan seks untuk anak dan remaja. Konon katanya, guna mencegah penularan HIV/AIDS dan kehamilan di luar nikah.

Sayangnya, gagasan absurd dan ironi ini dengan penuh semangat dijajakan oleh sebagian kaum muslimin sendiri, seperti kisah di muka. Belakangan, ide ini juga diterapkan melalui PKN (Pekan Kondom Nasional), sebuah kampanye amoral yang justru didanai dengan uang pajak rakyat.

Berbeda dengan konsep Barat, maka pada usia balig tersebut Islam berbicara tentang taklif serta kewajiban-kewajiban religius, moral, dan sosial. Setelah seseorang balig, ia didorong untuk menutup aurat, menundukkan pandangan, merawat diri ketika haid, menjaga pergaulan, dsb.

Ditekankan pula pentingnya kesadaran perihal telah dimulainya pencatatan amal baik dan buruk oleh malaikat. Bab-bab fiqh seperti thaharah (najis, wudhu, tayamum, istinjak, mandi junub), hukum terkait haid/nifas, aurat, muhrim, pernikahan, waris, dan hudud (zina, homo/lesbi, dsb), adalah cara Islam mengajarkan tema-tema seksual secara elegan, arif, dan bertanggung jawab.

Di dalamnya seorang anak diajari memahami dan menerima fakta-fakta perkembangan seksualnya, kemudian dididik untuk memperlakukannya secara bijak dan bertanggung jawab. Bagi Islam, pendidikan seks bukan melulu soal bersetubuh, tetapi diajarkan sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem hukum dan moral.

Watak pandangan tauhidi dalam Islam bisa menyatukan berbagai elemen sehingga berjalan beriringan, sementara psikologi sekuler (Barat) justru berusaha melakukan dikotomi, ciri khas filsafat dualisme yang dianutnya.

Psikologi sekuler mendorong seseorang – segera setelah balig – untuk memperhatikan kesenangan badani dan syahwat, lalu memperturutkan ‘keingintahuan’ antar jenis kelamin secara terbuka.

Sementara itu, Islam menyiapkan mereka untuk memberi sumbangsih nyata dan positif kepada kehidupan, bertanggung jawab, serta memiliki kepribadian yang stabil. Psikologi sekuler hanya akan berbicara tentang hidup di dunia fana, sementara konsep Islam sekaligus mengaitkannya dengan akhirat. Kita pun segera tersadar bahwa diantara keduanya terdapat jurang pemisah yang tak terjembatani.

Oleh karena itu, dalam buku Islam at the Crossroads, Muhammad Asad (Leopold Weiss) menyatakan betapa parameter-parameter Barat dan Islam berada di titik-titik yang saling berlawanan secara diametral.

Beliau menulis, “Satu-satunya konklusi yang mungkin disimpulkan daripadanya adalah bahwa peradaban semacam itu (Barat) akan menjadi racun maut bagi setiap kebudayaan yang berdasar nilai-nilai keagamaan. Pertanyaan asal kita, apakah mungkin untuk menerapkan jalan pemikiran dan jalan hidup Islam pada tuntutan-tuntutan hidup peradaban Barat dan sebaliknya, harus dijawab dengan “tidak”.

Dalam Islam tujuan pertama dan paling utama adalah kemajuan moral manusia, dan oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan etika mengatasi pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material.

Di Barat di mana pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan material menguasai segala manifestasi-manifestasi kegiatan manusia, dan etika sedang diundurkan ke latar belakang yang kabur dari kehidupan masyarakat dan dipojokkan kepada keadaan teoritis melulu; tanpa sedikit pun kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat; (maka) berbicara tentang etika – dalam keadaan-keadaan semacam itu – tidak jauh bedanya dari bersikap munafik.

Sikap penyimpangan kepada etika semacam itu tentu saja tidak dapat dipertemukan dengan pandangan keagamaan; dan oleh karena itu dasar moral kebudayaan Barat modern tidak dapat dipertemukan dengan Islam.

Masih menurut Leopold Weiss yang orientalis lalu masuk Islam itu dalam bukunya, “untuk melangkah lebih jauh dan meniru jiwa kebudayaan Barat, mode hidup dan organisasi kemasyarakatannya, tidaklah mungkin tanpa memberikan pukulan maut terhadap kehidupan Islam sebagai bentuk pemerintahan ketuhanan dan agama yang praktis. Wallahu a’lam.

UST. M. ALIMIN MUKHTAR
Sumber www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close