Pena : The Soft Power


Awalnya, Arab tidak mengenal syair. Seluruh ungkapan berbentuk natsr (prosa). Kemudian Arab membutuhkan "nyanyian" tentang kelebihan yang mereka miliki, akhlaq, serta kebiasaan baik. Juga untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting, kampung halaman, dan kegagahan para penunggang kuda.

Itu semua bertujuan agar dapat membentuk karakter pada jiwa-jiwa mereka serta sebagai petunjuk bagi generasi mengenai berbagai kemuliaan dan harga diri. Dari hal itulah, mereka akhirnya menyusun syair-syair. Demikian menurut keterangan Ibnu Rasyiq, sastrawan Qairawan yang wafat pada tahun 456 H, tentang asal-usul syair pada bangsa Arab. Sedangkan Ibnu Salam al-Jumahi (231 H) menyebutkan, syair memiliki hubungan erat dengan peristiwa penting bagi kabilah-kabilah Arab, terutama pertempuran. Ia menyatakan, "Sesungguhnya banyaknya syair, karena banyaknya pertempuran antar manusia, seperti pertempuran antara kabilah al-Aus dengan al-Khazraj."

Iffat Wishal Hamzah menulis sebuah pengantar pada Minah al-Midah, yakni kitab yang ditulis Ibnu Sayyid an-Nas (734 H) serta mencatat para Sahabat Rasulullah sebagai penyair dan syair-syairnya, "Syair bukan hanya kompilasi yang tersimpan, tetapi ia adalah kementerian informasi pada waktu itu. Ia adalah koran-koran dan siaran-siaran."

Dalam peradaban Islam, karena sastra cukup berpengaruh dalam kehidupan, para sastrawan Arab pun diberikan wadah oleh para pemimpin untuk keperluan surat-menyurat, menulis pesan untuk rakyat, pejabat, sampai pesan diplomasi negara-nega- ra sahabat, dan para musuh.

Mereka menyadari betapa tulisan memiliki ke- kuatan, seperti kemampuan sastra yang dimiliki Qadhi al-Fadhil (596 H). As-Subki berkata, "Qadhi al-Fadhil dalam surat-menyurat seperti Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i dalam fiqih."

Muhammad bin Banan, pencatat surat Fathi- miyah, pun terpukau ketika membaca surat-surat yang ditulis al-Fadhil, "Ini surat yang tajam serta ungkapannya sangat baik. Ini adalah tulisan yang tidak ada bandingannya dan orangnya pun tidak ada duanya di masanya!"

Ketika al-Fadhil menjabat sebagai penulis surat masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi, Shalahuddin sampai mengatakan di depan khalayak, "Janganlah kalian mengira bahwa aku menguasai negeri-negeri dengan pedang-pedang kalian. Tapi, sesungguhnya aku menguasainya dengan pena al-Fadhil."

Kesimpulan dari tulisan ini adalah, kata-kata, pena, maupun media massa, tidak boleh diremehkan. Meskipun ia soft tapi memiliki power.

Sumber Majalah Hidayatullah Edisi Mei 2024
Powered by Blogger.
close