Mengenang ‘Yang Budiman’ Mbah Rustam: Dokumentator Sarekat Islam Malang
Hidayatullah.com | DALAM sejarah pergerakan Islam di Malang, nama Mbah Rustam menjadi salah satu tokoh yang dihormati dan dikenang. Beliau bukan hanya dikenal sebagai aktivis Gerakan Sarekat Islam (SI), tetapi juga sebagai seorang mujahid yang tekun dan berdedikasi tinggi dalam menyebarkan ilmu dan informasi.
Beliau dijuluki “Yang Budiman” oleh tokoh-tokoh Islam seperti Mr. Moh. Roem dan kawan-kawan. Di dalam hayatnya, Mbah Rustam merupakan sosok yang menginspirasi banyak orang hingga usianya yang mencapai 81 tahun.
Dalam momentum peringatan 25 tahun wafatnya Haji Agus Salim, para anak murid H. Agus Salim seperti Moh. Roem dan kawan-kawan, memberi testimoni yang menggambarkan bahwa beliau memang berhak mendapat julukan tersebut.
Kata mereka: “Yang Budiman adalah seorang yang berbudi, yang berakhlak yang bijaksana, yang menjadi tauladan dalam penghidupannya dan dalam perjuangan, Bapak Roestam dalam hidupnya dengan sempurna memberikan citra dari pada itu semua.”
Perjalanan Hidup dan Perjuangan
Mbah Rustam, atau Roestam Hardjodipoero, lahir dari latar belakang sederhana. Hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), beliau memulai karier sebagai kuli, kemudian menjadi mandor, dan akhirnya sebagai juru tulis di pabrik gula Panggungrejo Kepanjen pada tahun 1917.
Pada tahun 1918, beliau bergabung dengan Sarekat Islam dan memulai karirnya sebagai pesuruh organisasi di desa Ngebruk. Empat tahun kemudian, Mbah Rustam menjadi pengurus SI di kecamatan Sumberpucung, Malang.
Pertemuannya dengan tokoh-tokoh besar seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim pada Kongres Komite SI di Surabaya tahun 1920, menjadi titik balik penting dalam hidupnya.
Nasihat dari Tjokroaminoto, “Kalau kamu ingin memperhatikan nasib rakyat jadilah koresponden,” menjadi pedoman hidup Mbah Rustam. Beliau kemudian dikenal sebagai dokumentator ulung yang tekun mengumpulkan dan menerbitkan kembali karya-karya kedua tokoh besar tersebut.
Sang Dokumentator Ulung
R.M. Yunani Prawiranegara dalam majalah Panji Masyarakat No. No. 324 (XXII 1981) membuat catatan penting terkait Mbah Rustam: “Dari hasil gemblengan tokoh-tokoh SI itulah melahirkan tokoh da’i dan mujahid mbah Rustam yang tetap gigih berjuang hingga usianya yang bulan Oktober nanti mencapai 81 tahun. Sebagai pengagum kedua tokoh pergerakan nasional itu mbah Rustam tekun mengumpulkan tulisan-tulisannya dan mendokumentir secara rapi dan menerbitkan kembali pada masa-masa sekarang ini.”
Menerbitkan Buletin “Mimbar Jum’at”
Salah satu kontribusi terbesar Mbah Rustam adalah penerbitan buletin “Mimbar Jum’at”. Sejak tahun 1970, beliau menerbitkan buletin ini secara rutin tanpa henti. Hingga tahun 1981, sudah sebanyak 2.114.887 eksemplar dalam 598 edisi yang diterbitkan dan disebarkan ke berbagai masjid di Malang dan sekitarnya.
Buletin ini dibuat dengan modal pribadi, tanpa bantuan pemerintah atau lembaga mana pun. Dengan sepeda pancalnya, Mbah Rustam mengedarkan buletin tersebut dari masjid ke masjid, sebuah dedikasi yang luar biasa untuk seorang pria seusianya.
Bisa seistiqamah ini dengan dana pribadi, merupakan suatu sumbangsih besar yang perlu diapresiasi. Terkait hal ini, Mbah Rustam bercerita, “Saya ini bukan instansi, bukan lembaga dan bukan pula seorang cukong yang kaya. Ada ataupun tidak ada bantuan penerbitan, bulettin jalan terus dan memang dalam sejarah penerbitannya selama sepuluh tahun itu sekalipun belum pernah berhenti terbit.”
Selain “Mimbar Jum’at”, Mbah Rustam juga menerbitkan buletin lain seperti “Mimbar Bacaan”, “Mimbar Pengetahuan”, dan “Soeara Kampoeng”. Semua buletin ini berisi tulisan-tulisan bermutu yang diseleksi dan diketik sendiri oleh beliau.
Mengapa Mbah Rustam bisa seulet dan seistiqamah itu dalam melakukan gerakan literasi umat? Di antara jawabannya –seperti saat diwawancara dalam liputan Panjimas– adalah sebagai berikut : “Apabila dipelihara dengan niat dan keikhlasan, Insya Allah akan mencapai cita-citanya.”
Selain itu, Mbah Rustam juga dikenal rajin berdakwah dengan menggunakan bahasa Jawa, sehingga pesan-pesan keagamaan dan kebudayaan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.
Pengakuan dan Penghargaan
Atas dedikasinya yang luar biasa, Mbah Rustam dianugerahi gelar Perintis Kemerdekaan oleh pemerintah pada tahun 1968. Selain itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) perwakilan eks karesidenan Malang memilih beliau sebagai anggota Masyarakat Teladan tahun 1980. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas kerja keras dan semangat juangnya yang tak pernah kenal lelah.
Kisah hidup Mbah Rustam memberikan banyak pelajaran berharga, di antaranya: Pertama, Ketulusan dan Keikhlasan: Mbah Rustam mengerjakan segala sesuatunya dengan tulus dan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan materi.
Kedua, Semangat dan Ketekunan: Dalam usia yang tidak lagi muda, beliau tetap semangat dan tekun dalam menyebarkan ilmu dan informasi melalui buletinnya. Ketiga, Mandiri dan Berdikari: Mbah Rustam mampu mengelola dan menerbitkan buletin dengan modal pribadi, tanpa bantuan dari pihak lain.
Keempat, Peduli Terhadap Masyarakat: Nasihat Tjokroaminoto yang selalu dipegang teguh membuat beliau selalu peduli terhadap nasib rakyat kecil. Kelima, Kesederhanaan dan Kesahajaan: Meskipun mendapat banyak penghargaan, Mbah Rustam tetap sederhana dan bersahaja dalam menjalani hidupnya.
Mbah Rustam adalah contoh nyata bagaimana seseorang dengan keterbatasan pendidikan dan sumber daya bisa memberikan kontribusi besar bagi masyarakat dan agamanya. Mudah-mudahan semangat dan dedikasi beliau dapat menjadi inspirasi bagi generasi penerus dalam mengisi kemerdekaan dan memperjuangkan kebaikan.
Apa yang telah didedikasikan Mbah Rustam adalah bagian dari gambaran hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya.” (HR. Thabrani) Bisa juga cerminan dari kaidah fiqih: “Kebaikan yang berdampak secara sosial lebih baik daripada kebaikan yang (manfaatnya) hanya terbatas pada individu.” Dan Mbah Rustam sudah teruji konsistensinya dalam hal itu. Rahimahullah Rahmatan Waasi’ah.*/ Mahmud Budi Setiawan
Post a Comment