Derita Tak Terkira di Tenda-tenda Pengungsi Gaza, Anak-anak Menangis Sepanjang Hari


Penderitaan anak-anak  Gaza tidak terkira, mulai panas ekstrem, sampah, air limbah, kurangnya air bersih, harga sabun deterjen berlipat-lipat hingga mandi hanya 10 hari sekali.

Dari Hidayatullah.com | SAAT itu sekitar jam 19.30 waktu di Gaza. Matahari telah terbenam, saat Nimah Elyan (45 tahun) dan empat anaknya yang masih kecil kembali ke tempat tinggalnya. Bukan di rumah bertembok, tetapi sebuah tenda berwarna krem yang menjadi tempat berlindung dari terik matahari dan cuaca panas. Lokasinya di kamp darurat di Deir el-Balah, Gaza Tengah.

Siangnya Nimah dan anak-anaknya pergi ke pantai, mencari semilr angin untuk mengurangi hawa panas. Beranjak sore hari, Nimah memandikan anaknya yang belum berusia tujuh tahun, dengan menggunakan spons dan seember air.

“Kami tidak bisa tinggal di dalam tenda bahkan selama lima menit pada siang hari. Panasnya benar-benar tak tertahankan. Anak-anak saya menangis sepanjang hari karena kepanasan,” Nimah berkisah kepada Al Jazeera (07/08/2024).

Anak-anaknya terlihat mengantuk saat melepas pakaian. Kulitnya memerah karena seharian berada di luar ruangan. Putri Nimah yang berusia empat tahun duduk di tanah sambil memakan kacang, sisa makan malam tadi.

Kulit anak-anak itu memerah akibat paparan sinar matahari yang terus-menerus, kurangnya peralatan kebersihan, dan kelangkaan air. Air yang mereka gunakan untuk mandi dan minum diambil oleh anak-anaknya dari rumah sakit terdekat.

“Setiap hari sekitar jam 11, saat cuaca tidak mendukung, kami naik kereta keledai menuju laut,” jelas Nimah.

Pergi ke laut yang jaraknya beberapa kilometer bukanlah hal yang mudah, namun Nimah mengatakan cuaca panas tidak memberinya pilihan lain. Kecuali jika ada serangan “Israel”, maka mereka terpaksa tinggal di kamp dan di tenda yang panasnya membakar kulit itu.

Keluarga tersebut harus mengeluarkan biaya sekitar 20 shekel (USD 5) untuk naik kereta keledai selama 40 menit ke pantai. Namun jenis kendaraan yang masih bisa berfungsi di tengah medan perang ini pun amat jarang ditemui. Mereka seringkali harus menunggu lama di bawah terik sinar matahari. Jika sudah terlalu lama menunggu dan tak muncul juga, maka mereka terpaksa berjalan kaki ke pantai.

Sesampai di pantai, Nimah duduk di atas pasir dan mengawasi anak-anaknya. Terkadang dia bergabung dengan mereka bermain air. Dan ketika mereka pulang pada malam hari, Nimah mencuci garam dari tubuh anak-anaknya, kemudian memberi makan ala kadarnya dengan apapun yang tersedia.

“Kondisi sangat sulit. Tiap hari kami hanya mengandalkan makanan yang dibagikan oleh dapur umum. Penyediaan makanan amat sulit,” ungkapnya.


“Kami Dilupakan”

Nimah Elyan tergusur dari lingkungan Nassr di  Kota Gaza bagian utara hingga akhirnya terdampar di Deir el-Balah pada awal Maret. Ia melarikan diri dari apa yang menurut para ahli PBB disebut bencana kelaparan ekstrem yang melanda  Gaza. Sedangkan suami dan dua putra tertuanya tetap bertahan di rumah mereka di Gaza utara.

“Kami mengalami kondisi berbahaya dan pengeboman terus-menerus selama sekitar lima bulan, namun pada akhirnya kami lolos dari kelaparan ekstrem,” kata ibu dari sembilan anak ini.

“Sekarang kami menghadapi ‘perang’ di tenda-tena pengungsian dan musim panas yang telah merusak tubuh anak-anak kami,” tambah Nimah sambil menunjuk cucu perempuannya yang berusia satu tahun yang sebagian kulit tubuhnya dipenuhi ruam dan luka.

Bayi itu adalah anak dari Nahla (21 tahun), putri Nimah yang juga kini tinggal di tenda kamp yang letaknya tak begitu jauh.

“(Saya) tinggal di tenda yang terbuat dari nilon bersama suami, putri saya, dan delapan anggota keluarga suami,” jelasnya sambil menggendong bayinya. “Kulit putri saya ruam akibat bakteri yang menyebar ke seluruh tubuhnya, dan obat salep tidak bisa membantu.”

Nahla sempat mengajak anaknya berobat ke Rumah Sakit Martir al-Aqsa, satu-satunya fasilitas medis yang masih bisa beroperasi di Deir el-Balah. Kata dokter, keadaannya akan semakin buruk karena panas yang ekstrem. Dokter hanya bisa menyarankan untuk mendinginkannya dengan air –yang sulit didapat.

Menurut Nahla, banyak anak-anak di kamp yang menderita ruam serupa akibat kondisi yang tidak higienis, kekurangan air, dan cuaca panas.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 150.000 orang di kamp wilayah tersebut menderita penyakit kulit akibat kondisi yang tidak sehat. Hal ini terjadi sejak “Israel” membombardir Gaza pada 7 Oktober 2023. Pada tanggal 29 Juli lalu WHO melaporkan 65.368 kasus ruam, 103.385 kasus kudis dan kutu, serta 11.214 kasus cacar air sejak dimulainya perang.

“Saya sedih melihat anak-anak kami, tapi tidak ada bantuan. Kami seperti dilupakan,” kata Nimah sambil memandikan putrinya yang berusia enam tahun.

Mandi Tiap 10 Hari

Kisah miris lainnya terjadi di kamp pengungsi Nuseirat. Misalnya dialami oleh Heba Sheikh Khalil (38 tahun), ibu delapan anak.

Ketika dijumpai Al Jazeera, Heba duduk di tempat teduh bersama keluarganya di seberang tenda. Ia mengipasi dirinya dengan selembar karton untuk mengurangi hawa panas.

“Wajahku ada dua warna, seperti yang kamu lihat. Bagian yang terbakar merangkum seluruh penderitaan kami,” katanya sambil menunjukkan kontras warna kulitnya yang memerah.

“Kami terbakar hidup-hidup. Panas yang menyengat di dalam tenda tidak dapat digambarkan,” katanya dengan nada marah.

Menurut Heba, mengatasi panas yang paling menyengat antara pukul enam pagi hingga enam sore, merupakan perjuangan sehari-hari bagi warga di kamp tersebut.

“Sinar matahari menyengat vertikal pada siang hari. Kami dan anak-anak menghabiskan waktu mencari tempat berteduh atau berjalan-jalan, berharap angin sejuk namun tidak menemukannya.”

Keluarga Heba mengungsi dari Shujaiyah, lingkungan timur  Kota Gaza pada bulan Oktober 2023. Ia hijrah ke Deir el- Balah, kemudian kini di kamp Nuseirat.

Heba kerap mengenang rumahnya yang memiliki ruang tamu panjang dan lima kamar besar. Udaranya segar, namun kini rumah itu telah hancur.

“Sekarang saya tinggal di tenda. Kita dimakan oleh lalat dan serangga. Tidak ada air, jadi anak-anak saya mandi di Rumah Sakit al-Aqsha yang terdekat,” jelasnya sambil menambahkan bahwa keluarganya hanya bisa mandi setiap 10 hari.

Penderitaan yang dialami Heba dan para pengungsi tidak hanya rasa tidak nyaman, mulai dari cuaca terik dan panas, sakit kepala, gigitan nyamuk, serta lalat yang beterbangan. Kondisi semakin buruk karena tumpukan sampah dan limbah.

“Lingkungan tenda sangat menyedihkan. Tidak ada infrastruktur atau drainase untuk pembuangan limbah sehingga menyebabkan perkembangbiakan serangga,” katanya.

“Penderitaan kami bermacam-macam: panas ekstrem, sampah, air limbah, dan kurangnya air bersih, sedangkan sabun deterjen harganya meningkat berlipat-lipat.”

“Kami seperti hidup di neraka di bumi. Setiap hari saya bangun dengan harapan semoga mimpi buruk ini segera berakhir,” harapnya.*/Pambudi Utomo

Powered by Blogger.
close