Merdeka untuk Siapa?



Katanya kita merdeka tapi disparitas kemiskinan yang besar, pendidikan dan kesehatan yang tak terjangkau, pengangguran yang merajalela, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan marak, jadi kita merdeka untuk siapa.

Oleh: Asih Subagyo

Hidayatullah.com | SETELAH 79 tahun merdeka, Indonesia seharusnya telah mencapai cita-cita luhur yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa. Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan tujuan kemerdekaan Indonesia: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Namun, dalam kenyataannya, tujuan-tujuan ini masih jauh dari tercapai. Pertanyaan yang muncul adalah: “Merdeka untuk siapa?” Apakah kemerdekaan ini benar-benar dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, atau hanya oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan uang?

Realitas yang kita hadapi hari ini memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Disparitas kemiskinan terus membesar, pendidikan dan kesehatan yang layak sulit dijangkau oleh sebagian besar rakyat, pengangguran masih menjadi masalah serius, sementara korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merajalela di berbagai lapisan pemerintahan.

Fenomena politik transaksional menjadi budaya yang sulit dihilangkan, memperkuat kekuasaan mereka yang berkuasa dan menjauhkan tujuan kemerdekaan dari rakyat kebanyakan. Ironisnya, kemerdekaan ini justru lebih banyak dinikmati oleh segelintir elite yang mungkin nenek moyangnya tidak ikut berjuang untuk merebut kemerdekaan.

Lalu, apa yang didapat oleh rakyat kebanyakan? Selain berbagai tekanan dan kesulitan yang semakin memperberat kehidupan sehari-hari, harapan akan masa depan yang lebih baik tampak semakin jauh dari jangkauan. Dalam perspektif Islam, kondisi ini memerlukan refleksi mendalam, karena Islam mengajarkan keadilan, kesejahteraan, dan tanggung jawab sosial sebagai pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kemerdekaan dalam Perspektif Islam: Antara Amanah dan Tanggung Jawab

Islam mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah nikmat besar yang harus disyukuri dan dijaga. Kemerdekaan bukan sekadar kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan umat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104)

Ayat ini menegaskan pentingnya tanggung jawab moral dan sosial dalam kehidupan berbangsa. Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang membawa umat kepada kebajikan, bukan kemerdekaan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Namun, apa yang kita saksikan hari ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai ini. Kemerdekaan yang seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, justru telah direnggut oleh mereka yang berkuasa untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Ini bertentangan dengan prinsip maslahah ammah (kesejahteraan umum) yang menjadi salah satu tujuan utama syariat Islam.

Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan hak-haknya dengan adil. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemimpin dalam Islam adalah pelayan bagi rakyatnya, bukan sebaliknya. Mereka diamanahkan untuk menegakkan keadilan, memberikan kesejahteraan, dan melindungi hak-hak rakyat. Jika kepemimpinan digunakan untuk keuntungan pribadi, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan oleh Allah SWT dan rakyat.

Realitas Kemerdekaan yang Terabaikan

Tujuan kemerdekaan telah dengan jelas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.”

Namun, realitas yang kita hadapi saat ini menunjukkan bahwa cita-cita luhur ini belum tercapai. Kemerdekaan seakan-akan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan, sementara mayoritas rakyat masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.

Disparitas Ekonomi dan Sosial

Indonesia merdeka bukan hanya untuk bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga untuk membangun sebuah bangsa yang adil dan makmur. Namun, setelah lebih dari tujuh dekade, tujuan-tujuan luhur tersebut masih tampak jauh dari kenyataan.

Disparitas kemiskinan yang besar, pendidikan dan kesehatan yang tak terjangkau, pengangguran yang merajalela, serta korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi setiap hari.

Salah satu indikator utama bahwa tujuan kemerdekaan belum tercapai adalah disparitas ekonomi yang semakin melebar. Data menunjukkan bahwa kesenjangan antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih sangat tinggi.

Segelintir orang menikmati kekayaan yang melimpah, sementara sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan. Akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang layak juga menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki uang.

Kemerdekaan yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi semua, justru kini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kuasa dan kekayaan. Ironisnya, banyak dari mereka yang menikmati hasil kemerdekaan ini adalah orang-orang yang mungkin tidak pernah merasakan pahitnya perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh para pahlawan kita.

Sementara itu, rakyat kebanyakan justru harus berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Dalam perspektif Islam, keadaan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang diajarkan oleh agama. Islam mengajarkan bahwa kekuasaan dan harta adalah amanah yang harus digunakan untuk menegakkan keadilan dan menolong sesama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ketidakadilan yang terjadi di negeri ini menunjukkan bahwa banyak dari para pemimpin kita telah mengkhianati amanah yang telah diberikan kepada mereka.

Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Masalah lain yang menjadi momok besar bagi bangsa ini adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi telah merajalela di berbagai sektor, mulai dari pemerintahan hingga dunia usaha.

Ironisnya, praktik ini sering kali dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan pemimpin rakyat. Penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya menjadi contoh buruk yang ditunjukkan oleh para penguasa, yang seharusnya menjadi teladan moral dan etika bagi masyarakat.

Dalam perspektif Islam, korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diemban. Islam menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam memegang amanah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58). Setiap penyalahgunaan kekuasaan adalah bentuk ketidakadilan yang mengorbankan hak-hak rakyat.

Politik Transaksional dan Kekuasaan Oligarki

Politik transaksional dan dominasi oligarki semakin memperburuk keadaan. Kekuasaan sering kali dipertukarkan dengan uang, dan keputusan-keputusan politik diambil berdasarkan kepentingan segelintir orang, bukan atas dasar kepentingan rakyat. Transaksi politik menjadi budaya yang merusak sendi-sendi demokrasi dan menjauhkan bangsa ini dari cita-cita kemerdekaan yang hakiki.

Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan keadilan. Pemimpin dalam Islam bukanlah mereka yang mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok, melainkan mereka yang mampu memimpin dengan adil dan bijaksana. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari).

Lalu, Rakyat Mendapat Apa?

Jika kita merenungkan kondisi ini, muncul pertanyaan besar: “Apa yang didapat oleh rakyat kebanyakan dari kemerdekaan ini?” Selain kemiskinan, pengangguran, korupsi, ketidakadilan, dan ketidakpastian masa depan, rakyat tampaknya hanya mendapat sedikit dari kemerdekaan yang sudah diraih dengan darah dan air mata oleh para pendahulu kita.

Padahal, Islam mengajarkan bahwa negara seharusnya menjadi pelindung dan pelayan rakyatnya. Negara yang merdeka sejatinya adalah negara yang mampu melindungi hak-hak rakyatnya, memberikan kesejahteraan, dan menciptakan keadilan bagi semua warganya. Prinsip-prinsip ini sangat jelas dalam ajaran Islam dan sejalan dengan tujuan kemerdekaan yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertanyaan besar yang perlu kita renungkan adalah: Apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan makna kemerdekaan kepada seluruh rakyat Indonesia? Bagaimana kita bisa mewujudkan tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh para pendiri bangsa?

Dalam Islam, perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan komunitas terkecil. Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya memulai perubahan dari yang paling dekat dengan kita: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Mengubah sistem yang korup dan tidak adil memerlukan upaya kolektif dari seluruh elemen bangsa. Umat Islam, dengan prinsip keadilan dan kepedulian sosial yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, memiliki peran strategis dalam mendorong perubahan ini.

Melalui dakwah, pendidikan, dan aksi nyata, umat Islam dapat menjadi motor penggerak untuk mengembalikan kemerdekaan kepada rakyat.

Kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, dapat menikmati hasil dari kemerdekaan tersebut.

Kita harus berkomitmen untuk terus berjuang demi mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bagi semua, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan diajarkan oleh Islam.

Kesimpulan

Merdeka bukan hanya soal terbebas dari penjajahan, tetapi juga soal menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kemerdekaan adalah amanah yang harus dijaga dan diisi dengan tindakan nyata untuk mencapai tujuan bersama.

Sebagai umat Islam, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kemerdekaan ini bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia.

Dengan mengedepankan prinsip keadilan, kepedulian sosial, dan tanggung jawab, kita dapat mengembalikan makna sejati kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa, sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaatnya.

Merdeka untuk siapa? Merdeka untuk semua, sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945 dan diajarkan oleh Islam.*

Penulis merupakan Ketua bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Hidayatullah

Powered by Blogger.
close