Umat Islam Perlu Negarawan
Hari ini umat Islam menderita banyak ‘penyakit’, salah satunya kurangnya sosok negarawan
Oleh: Ali Mustofa Akbar
Dikutip dari media Hidayatullah.com | JIKA kita berfikir secara obyektif dan mendalam, tampaknya negri kita tercinta semakin merana. Seperti tercermin dari total posisi utang pemerintah terus membengkak menjelang akhir masa pemerintahan kali ini.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, posisi utang outstanding pemerintah atau total jumlah utang pemerintah per akhir Juni 2024 adalah Rp 8.444,87 triliun.
Dari sektor keamanan, seperti dilansir dilansir dari Pusiknas (Pusat Informasi Kriminal Nasional), ada sebanyak 434.768 kasus kejahatan yang terjadi di sepanjang tahun 2023.
Dari laporan yang sama, terdapat tiga kasus kejahatan tertinggi, Kasus Pencurian dengan Pemberatan (Curat) sebanyak 63,355 kasus, Penganiayaan sebanyak 51,312 kasus, dan Penipuan/Perbuatan curang
sebanyak 49.007. Ini adalah masih sebatas angka kriminalitas yang terdeteksi.
Belum lagi bila disoroti sektor keadilan hukum, korupsi, kesejahteraan, perzinahan, maupun problematika masyarakat lainnya. Sayangnya antara problematika dengan solusi acapkali tidak nyambung justru kontra produktik untuk perbaikan.
Sebagai contoh dalam kasus semakin maraknya tindakan amoral pada pelajar, justru pemerintah baru-baru ini meneken PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dimana didalamnya ada peraturan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar yang justru dapat berdampak pada meningkatnya pergaulan bebas.
Dari semua itu, maka sejatinya negeri ini membutuhkan para negarawan sejati. Seorang negarawan adalah seorang politisi yang inovatif, ia adalah seseorang yang memiliki mentalitas pengurusan umat.
Ia mampu mengelola urusan negara, menangani masalah, dan mengendalikan hubungan pribadi dan masyarakat dengan prespektif Islam. Itulah negarawan, ia mungkin ada di antara orang-orang aktif maupun tidak aktif di pemerintahan.
Ketika umat Islam menerapkan aturan Islam, maka lahirlah ribuan orang yang memiliki karakter negarawan, baik mereka yang berada dalam pemerintahan seperti Sayyidina Umar, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, Al-Mu’tasim Billah, Shalahuddin Al-Ayubi, dan Muhammad Al-Fatih, atau mereka yang tetap menjadi rakyat biasa seperti Ibnu Abbas, Al-Ahnaf bin Qais, Ahmad bin Hanbal, hingga Ibnu Taimiyah, karena mereka semua menggunakan landasan akidah Islam.
Mereka menempuh jalan politik, dan memiliki perasaan bahwa mereka merasa bertanggung jawab atas semua orang untuk mendakwahi mereka; menyampaikan risalah Islam, serta menerapkan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan.
Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab berkata: “Jika seekor hewan di Iraq tersandung, aku takut Allah akan menanyakan kepadaku mengapa aku tidak memperbaiki jalannya untuknya.”
Atau Khalifah Al-Mu’tasim Billah mendengar jeritan dari seorang wanita Muslimah di tanah Romawi (saat dianiaya kelompok Yahudi) yang berteriak “Wahai Mu’tasim…!” maka dia segera menolongnya dan mengirim pasukan yang dipimpin olehnya sendiri dan menaklukkan wilayah Romawi hingga menduduki tempat kelahiran kaisar mereka.
Demikian pula Ahmad bin Hanbal mengalami pemukulan dan penindasan agar ia mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, namun ia lebih memilih dipukuli dan dipenjara daripada mengatakan hal ini agar tidak menyesatkan umat Islam.
Perasaan tanggung jawab seperti ini menjadi syarat yang diperlukan oleh seorang negarawan.
Adapun hari ini, umat Islam menderita banyak penyakit, dan salah satu yang paling serius adalah kurangnya negarawan. Dalam ketiadaan negarawan di kalangan umat saat ini, muncul para penguasa dan orang-orang yang berpengaruh, namun mereka semua tidak memiliki sifat-sifat seorang negarawan sejati.
Mereka tidak memiliki kemampuan untuk berpikir, merencanakan, dan menyelesaikan kepentingan umat, sehingga mereka menyerahkan semua itu kepada negara-negara besar untuk menangani urusan-urusan tersebut, dan membiarkan mereka mengatur sumber daya alam negara mereka, sehingga para penguasa ini menjadi seperti pegawai dan pekerja bagi mereka.
Dalam keadaan seperti ini, negara-negara besar mulai menyebarkan ide-ide sekuler-kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, kesukuan, maupun ide-ide turunan sekulerisme lainnya.
Mereka menjadikan asas kepentingan manfaat dalam mengatur hubungan manusia, sehingga segalanya menjadi kacau, dan kalian mengenal ajaran itu sekaligus harus mengingkarinya.
Walhasil, kejernihan berpikir menjadi lenyap, sehingga muncul tradisi meniru-niru (tasyabuh) yang menjadi ciri khas orang-orang yang lemah dan terperdaya, maka benarlah sabda Rasulullah ï·º yang artinya;
“Kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya salah seorang dari mereka masuk ke lubang biawak sekalipun, niscaya kalian akan mengikutinya”. Sahabat bertanya:”Apakah itu (yang ditiru) orang-orang Yahudi dan Nashrani?” Jawab Rasul: “Lantas Siapa lagi (kalau bukan mereka).” (HR. Muslim 2669)
Para penguasa dan banyak khalayak pada umumnya tidak lagi bersumber pada keyakinan Islam dalam berpikir, berperilaku, dan menangani masalah, namun mereka justru mengadopsi mentah-menta ide-ide Barat tanpa skrining.
Para penguasa membaca konsep-konsep pemerintahan dari negara-negara itu, serta merujuk buku-buku Barat sebagai pedoman mengatur masyarakat, menjadikan Machiavelli (bapak pragmatisme) sebagai panutan, dan mereka mengulang-ulang apa yang mereka baca tanpa menyadari bahwa ide-ide semacam itu, meskipun mungkin bisa terapkan di masyarakat kapitalis atau sosialis, namun tidak cocok bagi umat Islam.
Maka, terwujudlah sabda Rasulullah ï·º yang artinya; “Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, dimana pembohong dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianat dipercaya, dan orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan Ruwaibidhah akan berbicara.” Ditanyakan: “Apa itu Ruwaibidhah?” Beliau menjawab: “Orang jahil yang berbicara tentang urusan umum (umat).” (HR. Ibnu Majah). Wallahu A’lam.*
Penulis peminat masalah sosial dan politik
Post a Comment