Lingkungan Rumah Kaya Sumber Belajar

Oleh : Fu'ad Fahrudin, M.Pd.I., 

Rumah tempat utama seorang anak tumbuh dan berkembang. Ia menyerap banyak informasi dari rumah. Dengan bimbingan orangtua, ia juga menata pengetahuan dalam pikirannya. Sejumlah prinsip hidup juga didapatkannya dari rumah.

Oleh karena itu hendaklah rumah memberikan lingkungan kaya belajar. Seluruh indera anak dilibatkan dalam menyerap berbagai pengetahuan sebagai modal belajar. Emosi dan spiritualnya juga dibangun. Ia mendapatkan banyak bimbingan untuk nyaman sekaligus memberikan kenyamanan kepada orang lain.

Sebagaimana diketahui, lingkungan kaya belajar terdiri dari berbagai unsur: Fisik, spiritual, emosional, sosial, dan intelektual. Rumah yang baik memberikan pengalaman belajar kepada anak lewat berbagai lingkungan. Tidak harus mahal. Karena sejatinya lingkungan kaya sumber belajar tidak mensyaratkan harga.

Pertama, lingkungan fisik. Lingkungan fisik memberikan pengetahuan lewat panca indera: Penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau, peraba. Kesemuanya penting untuk diberikan modal belajar. Dalam redaksi lain, kelima indera perlu diberikan stimulus belajar.

Indera masing-masing distimulus dengan situasi yang ada. Sekali lagi, tak perlu pengadaan sesuatu yang mahal. Apa saja yang ada di rumah sudah cukup. Yang penting adalah ‘menghidupkan lingkungan’. Orangtua dan anak berdialog tentang lingkungan rumah. Misalkan cat rumah, orangtua dan anak diharapkan berdialog tentang apa warna cat rumah, mengapa memilih warna tersebut, apakah termasuk warna tunggal atau campuran.

Dialog ini berharga. Karena dialog pintu pengetahuan dan prinsip hidup. Dengan merasakan pencerahan lewat dialog, diharapkan anak membangun pengetahuan dasar dan prinsip hidupnya.

Selanjutnya sang anak membawa pengetahuan yang dimilikinya ke komunitas yang lebih luas. Pengetahuannya akan diuji. Saat terjadi antitesa, semoga anak tidak patah arang. Tetapi anak mampu membangun sintesis baru.

Sintesis baru ini perlu dibantu orangtua dan guru. Kedua pihak bekerjasama. Agar pengetahuan anak sebelumnya memiliki makna. Semoga tertanam pada diri anak bahwa belajar bisa berkelanjutan, dimanapun tak masalah. 

Bukan hanya penglihatan, sebagaimana telah disampaikan, indera lain juga perlu distimulus. Pendengaran, pembau, pencium, dan peraba distimulus sesuai fungsinya. Orangtua bebas, mengalirkan stimulus apa adanya atau dengan perencanaan. Asalkan ada dialog untuk anak membangun pengetahuannya.

Kedua, lingkungan spiritual. Anak diantarkan cinta ibadah. Bukan hanya ibadah yang sifatnya munajat, tapi anak juga cinta ibadah yang sifatnya adab.

Kunci utamanya, selain pembiasaan dan teladan, kembali pada dialog. Anak diantarkan untuk menyadari betapa pentingnya ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dialog, anak dikenalkan kepada Allah ta’ala. Betapa kasih sayang-Nya demikian besar kepada segenap makhluk-Nya.

Di dalam dialog juga, anak dikenalkan kepada Baginda Rasulullah shallallah ‘alaih wa sallam. Betapa Baginda teladan mulia. Betapa beliau berusaha kuat agar umat manusia mengenal Islam.

Hal lain yang melengkapi dialog adalah apresiasi. Setiap kali anak melakukan kebaikan hendaklah orangtua memberikan apresiasi. Sekecil apapun kebaikan anak, orangtua mengapresiasi.

Apresiasi, sebagaimana diketahui, merupakan tabungan emosi. Jika anak terus mendapatkan apresiasi, tabungan emosinya semakin banyak. Saat ada konflik antara orangtua dengan anak terkait ibadah, tabungan emosi diharapkan bisa menjaga stabilitas emosi anak. Anak tetap stabil, tidak meninggalkan ibadah begitu saja.

Apresiasi ini merupakan arahan Allah ta’ala. Dalam sejumlah ayat, perihal ini dapat dibaca. Semisal pada Al-Qur’an surat Al-Zalzalah ayat 7-8. Setiap kebaikan akan mendapat balasan, keburukan juga sama.

Apresiasi, selain membangun lingkungan spiritual anak secara positif, juga membangun lingkungan emosi. Anak menjadi paham bahwa kebaikan membawakan rasa nyaman. Semoga anak terinspirasi untuk juga berbuat baik kepada orang lain. Mindset ini penting dalam membangun pertemananan.

Masih berkaitan dengan lingkungan emosi adalah pengenalan emosi. Anak perlu merasakan emosi yang sedang dirasakan. Karena emosi sering bercampur dengan satu emosi dominan. Anak perlu dilatih untuk mengenali emosi ini dan menyikapinya dengan efektif. Sehingga ekspresi yang dikeluarkannya masih membuat nyaman dirinya serta orang di sekitar.

Emosi yang dimaksud tidak terbatas emosi negatif tapi juga positif. Saat sedih atau marah, anak bisa mengendalikan. Begitu juga saat gembira, anak bisa pula mengendalikan. Anak mampu mengukur ekspresi emosinya agar tidak mengganggu situasi emosi orang lain.

Teladan pengelolaan emosi orangtua sangat penting. Anak belajar bagaimana mengelola emosi dari orangtua. Dalam hal ini kiranya orangtua terus belajar mengelola emosi, agar terus stabil. Naik turun emosi orangtua yang berlebihan dikhawatirkan membuat anak bingung. Ibarat kapal, anak terombang-ambing oleh gelombang dari emosi orangtua. Anak relatif sullit untuk nyaman. Akhirnya prestasi sulit dicapai.

Bisa dikatakan situasi emosi orangtua fondasi untuk lingkungan sosial dan intelektual. Saat orangtua mampu menjaga stabilitas emosi, anak dimungkinkan nyaman. Sehingga ia kemudian mampu membangun keterampilan sosialnya dengan baik. Ia belajar memaafkan sekaligus meminta maaf. Ia belajar membuat nyaman orang lain. Ia belajar untuk menyayangi tanpa menyakiti.

Di lingkungan intelektual, anak belajar dengan lebih fokus. Suara-suara bentakan, misalnya, minim. Begitu juga benda-benda tertata baik, tidak berantakan karena kemarahan.

Jika berkemampuan, orangtua dapat membelikan buku untuk anak. Sedari bayi, anak sudah dikenalkan dengan buku. Tentu bukunya disesuaikan. Jika anak mulai besar, bukunya kembali disesuaikan. Begitu seterusnya.

Mungkin anak tidak segera menampilkan keterampilan intelektualnya. Akan tetapi stimulus perlu terus diberikan. Semoga dengan dialog berkelanjutan antara orangtua dengan anak, keterampilan intelektualnya terbangun. Hingga pada suatu waktu, di satu usia, sang anak mampu menunjukkan keterampilan intelektualnya dengan mengesankan.  

Selain buku, orangtua juga dapat menyediakan teks multimodal sebagai lingkungan belajar anak. Tayangan video di internet salah satu bahan dialog orangtua dengan anak. Plang rambu-rambu sekitar rumah juga bisa. 

Uang salah satu bahan dialog penting. Orangtua bisa mengajukan satu dua kasus. Misalkan saat uang pecahan Rp100.000,00 ditukar dengan lima lembar uang pecahan Rp20.000,00, anak bisa ditanya apakah hal tersebut adil.

Konteks lain adalah olahraga ketangkasan. Penting bagi orangtua melatihkan ketangkasan pada anak. Bagaimana otak dan otot gerak berpadu simultan untuk menghasilkan respon.

Sebagai penutup, tetaplah dianjurkan agar orangtua memberikan stimulus kepada anak selama tinggal di rumah. Tidak ada batasan usia. Selain itu bagus jika orangtua bekerja sama dengan sekolah. Khusus untuk anak yang studi berasrama, orangtua perlu mengondisikan rumah sebagaimana asrama. Agar proses pendidikan terus berlangsung.

Wallahu a’lam. 


Fu'ad Fahrudin, M.Pd.I., Guru SDIT Al-Madinah Kebumen

Powered by Blogger.
close