Mendudukkan Gelar ‘Gus’
Gelar “Gus” bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan secara pribadi, sebaliknya, panggilan tersebut seharusnya menjadi pengingat kebesaran orang tua, bukan prestasi sendiri
Oleh: Kholid A.Harras
Hidayatullah.com | PANGGILAN “Gus” kembali menjadi bahan perbincangan setelah video viral yang menunjukkan tindakan Miftah Maulana Habiburrahman, dianggap “menghina” seorang pedagang es teh.
Insiden ini memunculkan kritik tajam karena tindakan tersebut dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai yang melekat pada gelar “Gus.”
Sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama, tindakan Miftah seharusnya mencerminkan akhlak yang baik dan penghormatan terhadap sesama, terutama mengingat statusnya sebagai seorang penceramah yang dikenal publik.
Gelar “Gus” memiliki makna yang mendalam dalam tradisi pesantren, khususnya di Jawa Timur. Dalam wawancara yang dimuat oleh NU Online, Gus Kautsar, putra dari KH Abdurrahman Al-Kautsar, Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso, menjelaskan bahwa panggilan “Gus” diberikan sebagai bentuk penghormatan masyarakat, bukan kepada si anak, melainkan kepada orang tuanya.
“Gelar ini sama sekali bukan untuk membanggakan dirinya, tetapi menghormati jasa-jasa orang tuanya,” tegas Gus Kautsar.
Dengan demikian, yang luar biasa dan dihormati bukanlah si “Gus,” melainkan orang tua mereka, yakni para kiai yang telah memberikan kontribusi besar dalam ilmu dan pembinaan umat.
“Gus” dalam Tradisi Pesantren
Di lingkungan pesantren, panggilan “Gus” biasanya diberikan kepada putra seorang kiai. Ini bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi juga sebuah amanah besar yang membawa tanggung jawab moral untuk menjaga martabat keluarga, pesantren, dan masyarakat yang memberikan penghormatan tersebut.
Gelar ini mengisyaratkan harapan bahwa si anak mampu meneruskan tradisi keilmuan, akhlak, dan kepemimpinan yang telah dirintis oleh orang tuanya.
Namun, Gus Kautsar mengingatkan bahwa gelar “Gus” bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan secara pribadi. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa panggilan tersebut seharusnya menjadi pengingat akan kebesaran orang tua, bukan prestasi anak itu sendiri.
Jika seorang “Gus” gagal menjaga amanah ini, ia tidak hanya mencoreng nama keluarganya tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap makna luhur gelar tersebut.
Insiden yang melibatkan Miftah menjadi contoh nyata bagaimana gelar “Gus” dapat kehilangan makna ketika tidak disertai perilaku yang mencerminkan nilai-nilai luhur.
Sebagai seorang tokoh agama sekaligus pejabat negara, tindakannya yang menghina pedagang kecil di depan publik menunjukkan ketidakpekaan terhadap martabat manusia dan tidak mencerminkan akhlak mulia yang seharusnya melekat pada seorang yang bergelar “Gus.”
Panggilan “Gus” mengandung ekspektasi besar dari masyarakat, bahwa penyandangnya akan menunjukkan keteladanan dalam setiap tindakan.
Ketika gelar tersebut digunakan tanpa memahami tanggung jawab moral yang menyertainya, maka gelar itu kehilangan nilainya dan hanya menjadi simbol kosong yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Sebagai bentuk penghormatan masyarakat, gelar “Gus” seharusnya dipahami sebagai amanah besar yang mengharuskan pemiliknya menjaga sikap dan perilaku.
Dalam tradisi pesantren, kehebatan bukan terletak pada si anak yang bergelar “Gus,” tetapi pada keilmuan, akhlak, dan jasa besar orang tuanya yang dihormati. Oleh karena itu, gelar ini bukan untuk dibanggakan atau dijadikan alasan merasa lebih tinggi dari orang lain.
Sebaliknya, gelar “Gus” adalah pengingat bahwa pemiliknya harus menjaga martabat orang tuanya. Jika tindakan seorang “Gus” bertentangan dengan nilai-nilai agama dan tradisi pesantren, ia tidak hanya mencoreng nama baik keluarga, tetapi juga mengkhianati amanah yang diberikan oleh masyarakat.
Menyelamatkan Makna “Gus”
Kasus Miftah memberikan pelajaran penting tentang pentingnya mendudukkan kembali makna gelar “Gus” sesuai dengan tradisinya.
Gelar ini bukan untuk menonjolkan diri, melainkan untuk melanjutkan tradisi keilmuan dan kepemimpinan moral yang diwariskan oleh para ulama.
Setiap penyandang gelar “Gus” memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik keluarga dan lembaga yang mereka wakili, serta menjadi teladan bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, tindakan Miftah seharusnya menjadi pengingat bahwa gelar “Gus” bukanlah sekadar simbol, melainkan panggilan untuk menjaga akhlak dan martabat dalam kehidupan sehari-hari.
Gelar ini hanya akan bernilai ketika pemiliknya mampu mencerminkan nilai-nilai luhur yang diharapkan oleh masyarakat.
Mendudukkan gelar “Gus” dengan benar berarti memahami bahwa penghormatan ini tidak diberikan untuk kebanggaan pribadi, tetapi sebagai penghargaan atas kebesaran orang tua dan tanggung jawab besar yang harus dijalankan.
Dalam setiap langkah dan tindakannya, seorang “Gus” diharapkan menjadi cerminan dari tradisi keilmuan dan akhlak yang luhur, bukan sekadar nama tanpa makna.**
Penulis dosen UPI, Bandung
Post a Comment