Sok Tahu, Bukti Sempitnya Ilmu
Oleh Masrokan
Salah seorang ulama masuk ke Masjid Rushafah dan mengumumkan kepada para
hadirin, “Saya siap menjawab pertanyaan paling sulit sekalipun” Di antara
hadirin itu adalah Abu Ha-nifah.
“Aku ingin menanyakan
satu pertanyaan” katanya kepada ulama itu.
“Apa itu?” sahutnya.
“Semut yang berbicara
dengan Nabi Sulaiman itu jantan atau betina?” tanya Abu Hanifah.
Ulama itu diam dan
menggelengkan kepalanya sembari menjawab, “Aku tak tahu.”
Abu Hanifah berkata,
“Dia betina.”
“Apa dalilnya?”
“Allah berfirman,
‘Berkatalah seekor namlah (semut wanita).’ (An-Naml: 18).
Kemudian Abu Hanifah menambahkan, “Sebenarnya aku tak ingin menanyaimu. Aku hanya ingin mengatakan, jangan menyombongkan kemampuanmu” (Disadur dari buku Biografi Imam Abu Hanifah karya Abdul Aziz Asy-Syinawi, h. 48).
Bagi seorang hamba, setinggi apapun ilmu dan status sosialnya,
tetap saja tak boleh sombong. Sebab, di atas orang berilmu masih ada yang lebih
berilmu lagi. Sehing-ga, seorang hamba tak pantas merasa dirinya paling berilmu
di hadapan manusia lainnya.
Seperti ulama sombong di atas. Dia merasa dirinya paling tinggi ilmunya dan
yakin akan mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, sesulit apapun
pertanyaan itu. Tapi, ternyata dia bungkam di hadapan per-tanyaan Abu Hanifah.
Keangkuhannya runtuh di ha-dapan pertanyaan yang nampak sederhana. Tapi bagi
ulama sombong itu, pertanyaan itu begitu sulit untuk dijawab. Seperti
demikianlah dunia keilmuan.
Orang berilmu mesti berhati-hati, tak perlu memak-sakan diri untuk menjawab
semua masalah yang diper-tanyakan. Karena kekeliruannya dalam menjawab akan
berdampak buruk bagi dirinya juga umat di belakangnya.
Kita perlu meneladani para ulama terdahulu. Mereka tak malu untuk mengatakan
‘saya tidak tahu’ ke-tika memang tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang
diajukan kepadanya. Kejujuran mereka untuk menga-takan ‘saya tidak tahu’
tidaklah melunturkan kemul ia-annya. Mereka tetap mulia, seperti Imam Malik.
Dalam sebuah riwayat dia pernah ditanya tentang 48 masalah. Untuk 32 masalah di
antaranya beliau menjawab dengan ucapan ‘saya tidak tahu.
Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam menuturkan, “Bukti kebodohan seseorang adalah
selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat dan me-nyebut
semua yang diketahui.”
Menghargai Pendapat Lain.
Sikap yang juga mesti
dijauhi oleh orang berilmu adalah merasa paling benar pendapatnya, sementara
pendapat yang menyelisihinya salah. Orang berilmu mest i menghargai orang yang
berbeda dengan penda-patnya. Dengan sesama orang berilmu hendaknya di-bangun
sikap saling memuliakan. Jika terjadi perbedaan pendapat-sepanjang perbedaan
itu dalam masalah ca-bang, bukan pokok, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk
saling mencela dan tak bertegur sapa. Justru per-bedaan pendapat itu hendaknya
menjadi spirit untuk membangun keakraban dan saling belajar. Sehingga,
ke-ragaman pendapat yang ada tak menjadi pemicu perpe-cahan, tapi menjadi
khazanah intelektual.
Kita patut meneladani sikap ulama terdahulu yang begitu tinggi sikap
penghormatannya kepada ulama lainnya, mesti di antara mereka terjadi perbedaan
pen-dapat dalam banyak hal. Imam Abu Hanifah berselisih pendapat dengan Imam
Malik hingga 14 ribu masalah, menyangkut ibadah dan muamalah. Demikian pula
an-tara Imam Ahmad dan Imam Syafi’i. Namun, mereka tidak saling memusuhi, tidak
mencaci maki. Sebaliknya, mereka tetap saling mencintai, menghormati dan
ber-ukhuwah mesra. Begitulah seharusnya sifat dan perilaku ulama, intelektual
dan ilmuwan Muslim.
Kita patut meneladani kerendahan hati dan tawadhunya Imam Asy-Syafi’i saat
berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Dia berujar: “Pendapatku benar, tetapi
bisa jadi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat Anda salah, tetapi bisa jadi
memiliki kebenaran”
Makin Berilmu, Makin
Tawadhu’
Apapun yang melekat pada diri seorang hamba, tak pantas untuk disombongkan.
Termasuk ilmu yang dimiliki. Sebab semua itu merupakan karunia Allah H§ yang
mesti dijadikan sarana untuk mendekatkan di-ri kepada-Nya. Juga menjadi sarana
untuk menebarkan kebaikan bagi manusia dan alam semesta. Ilmu yang di-miliki
hendaknya melahirkan sikap rendah hati. Karena orang yang berilmu sadar bahwa
ilmunya sedikit sedang ilmu Allah Hi tak terhingga. Justru semakin berilmu,
semakin sadar masih banyak perkara yang belum dike-tahuinya.
Rasulullah SAW mengingatkan, “Barangsiapa mempelajari ilmu untuk membanggakan
diri di hadapan ulama atau mendebat orang-orang bodoh. Atau mengalihkan
pandangan manusia kepada dirinya, maka dia berada di neraka” (Riwayat
At-Tirmidzi).
Selain dilarang sombong dan merasa benar sendiri, orang berilmu juga tetap
harus menghormati dan memuliakan sesamanya. Maka bagi orang awam yang sedikit
ilmunya, tentu harus lebih rendah hati dan tawadhu lagi. Secara umum, seorang
hamba mesti menjauhi sikap sombong. Juga mesti menghormati sesama, lebih-lebih
kepada para ulama yang ikhlas mengamalkan ilmunya di jalan Allah Hi. Kepada
para ulama yang saleh, kita mesti menaruh sikap hormat yang tinggi serta
menjauhi segala sikap dan tutur kata yang bernada merendahkan.
Sungguh di zaman ini kita dapati ada beberapa kaum intelektual yang lahiriyahnya mengaku Muslim, tapi dari tutur kata dan sikapnya justru nampak merendahkan para ulama. Bahkan, kepada pribadi Nabi Muhammad Hg dan Sahabatnya pun mereka berani mengeluarkan statemen tak pantas. Sungguh mereka adalah orang jahil yang sombong. Mereka merasa lebih berilmu dan merasa lebih baik, padahal ilmu dan amal mereka tiada apa-apanya bila dibandingkan dengan ilmu dan amal para Sahabat Nabi Muhammad dan para ulama yang mengikutinya.
Untuk itu, orang beriman patut berhati-hati. Jangan sampai terbawa arus
statemen yang mereka bangun. Karena mereka melakukan itu untuk menjauhkan umat
dari kebaikan. Mereka hendak menjerumuskan kita kepada jalan kesesatan. Maka,
ingkarilah celaan-celaan yang mereka tujukan kepada generasi saleh umat ini.
Serta tinggalkan perkataan dan ajakan-ajakan mereka.
Al-Imam Abu Zur’ah
Ar-Razi mengatakan, “Apabila engkau melihat seseorang meremehkan salah seorang
Sahabat Rasulullah maka ketahuilah bahwasanya dia adalah orang zindiq.” (Kitab
Al-Khifayah, h. 97). Allahu a’lamu bish shawab.
OLEH MASROKAN (Pengasuh pesantren di Kendari, Sulawesi Tenggara)
Post a Comment