Menerima Keunikan Anak


Setiap anak unik dengan dirinya masing-masing. Bakat, minat, dan lingkungan keluarga memberikan pengaruh yang cukup kompleks. Awalnya keunikan ini hanya dibawa anak saat interaksi dengan orang terdekatnya. Seiring waktu ada lingkungan yang lebih luas, mau tidak mau, berbagai keunikan segera terlihat.

Salah satu lingkungan itu adalah kelas. Anak, dalam rentang waktu yang cukup panjang di kelas, akan menunjukkan keunikannya. Jika ada 20 orang anak, maka sangat mungkin ada 20 ragam keunikan. Keunikan ini mencakup banyak hal, dari kecakapan akademik hingga respon khas atas satu peristiwa. 

Seorang guru diharapkan bersiap dengan ragam keunikan anak. Ia tepat dalam menentukan suatu rentang, di titik mana minimal dan di titik mana maksimal. Selanjutnya ia terampil dalam meng-‘orkestrasi’ anak-anak didiknya.

Ini tidak mudah, harus diakui. Apalagi jika jumlah anak didik sangat besar. Misalkan kelas bawah SD berjumlah 35 orang murid. Guru perlu bekerja keras.

Oleh karena itu dukungan orangtua dan sekolah diperlukan. Dukungan orangtua yang paling penting adalah jujur. Apa yang menjadi keunikan dan kebiasaan anak, orangtua perlu menceritakan secara terbuka. Selanjutnya orangtua siap bekerja sama dengan guru dalam hal eksplorasi keunikan anak. Misalkan sang anak perlu pengayaan satu cabang olahraga. Hendaklah orangtua memfasilitasinya. Mengandalkan guru bukanlah tindakan bijak.

Adapun dukungan sekolah yang paling penting adalah keluasan area penilaian terhadap anak. Bahwa kemampuan akademik hanya satu bagian dari kapasitas anak. Sehingga kurang tepat jika nilai-nilai pelajaran menjadi determinan dari baik tidaknya seorang anak, berkualitas atau tidaknya.

Bukan berarti sekolah tidak boleh menekankan penguasaan akademik kepada anak. Sekolah boleh melakukannya, bahkan harus melakukannya. Yang tidak boleh dilakukan oleh sekolah, sebagaimana telah disebutkan, adalah menetapkan kualitas anak berdasarkan kemampuan akademiknya.

Lebih bijak jika sekolah membuat pelaporan hasil belajar anak dengan memuat kemampuan akademik dan non-akademiknya. Selanjutnya orangtua mendapatkan rekomendasi untuk pengayaan kapasitas anak. Dengan persuasi yang tepat, semoga hati orangtua terbuka untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.

Sebenarnya sudah banyak sekolah melakukan hal ini. Sayang sekali perlu ikhtiar lebih maksimal.
 Bullying yang masih terjadi menjadi penanda bahwa penerimaan keunikan anak belum menjadi pemahaman dan kesadaran bersama. Sebagaimana diketahui salah satu akar bullying adalah perasaan lebih tinggi yang disertai ketidakmampuan mengendalikan kuasa. Pembuli tidak merasa bahwa setiap anak memiliki keunikannya sendiri untuk kemudian dihormati.

Perasaan setara dan saling menghormati relatif mudah lahir jika ada kerjasama berbagai pihak. Guru, sekolah, dan orangtua memiliki paradigma pendidikan yang sama. Peran pemerintah sebagai regulator pendidikan tertinggi diharapkan bisa memberikan edukasi integratif kepada semua pihak. Semoga gerak langkah semua pihak simultan, generasi emas dapat ditumbuhkan.

Fu'ad Fahrudin, Guru di SDIT Al-Madinah Kebumen
Powered by Blogger.
close