Wasathiyah di Bulan Ramadhan


Oleh: Mudzakkir Khalil Khayyath

Hidayatullah.com | BANYAK 
 definisi yang berkembang terkait istilah wasathiyah. Di Indonesia, istilah moderat (tengah) dijadikan sebagai padanan untuk istilah wasathiyah.

Di buku “Moderasi Beragama” tulisan Prof. Dr. Aksin Wijaya dkk, disertasi “Pendidikan Moderasi Beragama” oleh Dr. Heri Gunawan S.Pd.I., M.Ag., dan buku “Tafsir Tematik Moderasi Beragama” tulisan Muchlis M. Hanafi dkk.

Padahal kata tersebut (yakni moderat) sama sekali tidak mewakili makna wasathiyah secara keseluruhan, melainkan hanya mengambil satu sisi dari sekian karakteristik wasathiyah Islam yaitu
 al-Bayniyah (berada diantara dua hal).

Akhirnya, ketika wajah moderat ditinjau dari enam karakteristik wasathiyah, wasathiyah yang dipadankan dengan istilah moderat yang berkembang seolah menjadi wasathiyah prasmanan.

Artinya, wasathiyah tetapi yang sesuai dengan selera. Sementara yang tidak sesuai dengan selera diabaikan. “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain?.” (QS: Al-Baqarah [2]: 85).

Berangkat dari bias di atas dan bias-bias turunannya, penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menyebutkan enam karakteristik wasathiyah Islam, dan bukan dengan definisi-definisi  yang sudah terkontaminasi.

Anehnya, dari berbagai bacaan yang penulis miliki tentang wasathiyah dari luar, satu pun tidak ada yang menjadikan istilah Moderat sebagai padanan untuk istilah wasathiyah.

Sebagai contoh, wasathiyah Ahlus Sunnah Bainal Firaq disertasi di universitas Islam Madinah yang ditulis oleh Dr. Muhammad Ba Abdullah, Al-Wasathiyah fil Quran al-Karim tesis di universitas Omdurman Sudan yang ditulis oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Manhaj Al-Islami li Al-Wasathiyah wa Al-I’tidal yang ditulis oleh para akademisi muslim dari berbagai negara dan tulisan-tulisan independen lainnya.

Di dalam tesis Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi (Al-Wasathiyah fil Quran al-Karim hal. 188-190) disebutkan ada enam karakteristik Wasathiyah; Al-Khairiyah (kebaikan), Istiqomah, memberikan kemudahan (Al-Yusr) dan menghilangkan kesulitan (Raf’ul Haraj), Hikmah, Adil dan Al-Bayniyah (berada diantara dua hal).

Washatiyah dan Ramadhan
Secara aplikatif, Rasulullah ï·º pernah menemui tiga sahabat yang masing-masing memiliki komitmen yang berlebihan, beliau bersabda, yang artinya; “Demi Allah! Ketahuilah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan aku orang yang paling takwa diantara kalian. Namun aku puasa dan berbuka, aku juga shalat dan tidur, aku menikah dengan Wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku dia bukan bagian dari umatku.” (HR. Bukhari no. 5063).

Sabda beliau, “Ketahuilah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan aku orang yang paling takwa diantara kalian” adalah wujud Al-Khairiyah (kebaikan), ucapan beliau, “Barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku dia bukan bagian dari umatku” adalah perwujudan dari Istiqomah, adapun Rasulullah memilih puasa dan berbuka (sementara sahabat yang kedua memilih untuk tetap berpuasa tanpa berbuka), shalat dan tidur (sementara sahabat yang pertama memilih untuk shalat terus menerus) dan menikahi wanita (sementara sahabat yang ketiga memilih untuk tetap membujang) adalah wujud memberikan kemudahan (Al-Yusr) dan menghilangkan kesulitan (Raf’ul Haraj).

Rasulullah menegur para sahabat dimana yang pertama memilih untuk shalat terus menerus, yang kedua memilih untuk tetap berpuasa tanpa berbuka dan yang ketiga memilih untuk tetap membujang tanpa menikah adalah wujud hikmah dari beliau.

Sebab hikmah adalah melakukan apa yang semestinya dilakukan, dengan cara dan pada waktu yang semestinya. Sementara adil dapat dilihat dari arahan beliau untuk memperhatikan hak Allah (shalat dan puasa serta menikah) dan hak pribadi (tidur, berbuka dan menikah).

Sementara Al-Bayniyah (berada diantara dua hal) dapat dilihat dari sikap; salat malam semalam suntuk adalah sikap berlebihan (ifrath), sedangkan tidur sepanjang malam itu meremehkan (tafrith); bangun malam dan tidur malam sesuai dengan kemampuan tanpa dibikin-bikin dan direkayasa adalah sikap wasath (pertengahan).

Puasa terus menerus adalah sikap  berlebihan (ifrath) dan tidak pernah puasa adalah sikap meremehkan (tafrith). Maka, yang Wasathiyah adalah terkadang berpuasa kemudian berbuka. Inilah Al-Bayniyah.

Adapun tidak menikah selamanya adalah Tindakan berlebihan (ifrath), dan menikah tanpa ada batasannya adalah tindakan meremehkan (tafrith). Di antara dua hal tersebut; menikah namun memperhatikan batasan-batasan syari’at itulah yang Al-Bayniyah (berada diantara dua hal).

Di antara landasan fiqih yang berhaluan wasathiyah adalah membedakan antara maksud-maksud (Maqashid) yang mapan (Tï·º abit) dan wasilah-wasilah (Wasail) yang berubah (Mutaghayyirat).

Menetapkan bulan baru (baik untuk awal bulan Ramadhan, Syawal dan lainya) adalah maqashid yang mapan, sedangkan metode rukyat, istikmal dan hisab adalah wasail mutaghayyirat.

Tentu tidak termasuk kebaikan (Khairiyah), bijaksana (Hikmah) dan adil (‘Adalah) dan Wasathiyah jika kita menggunakan wasilah yang justeru tidak memudahkan dan bahkan menyulitkan bagi umat (lihat: Fiqih Maqashid Syari’ah Moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, hal. 191-203).

Wujud lain dari wasathiyah adalah Al-Khairiyah (kebaikan) yakni mempercepat berbuka dan mengakhirkan sahur. Rasulullah ï·º bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Bukhari no. 1821, 1957 dan Muslim no. 1097, 1098).

Termasuk wujud wasathiyah di dalam bulan Ramadhan dan Syawal adalah hikmah (bijaksana) dan Adil (‘Adalah) yakni makan, minum dan bernafas sesuai porsi. Nabi ï·º bersabda; “Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya sendiri. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ingin berbuat lebih, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Lihat: Shahih At-Targib wa At-Tarhib no. 2135).

Wujud wWasathiyah lainnya dari syari’at adalah Istiqomah, yakni tetap membolehkan mencampuri istri pada malam puasa. Allah ta’ala berfirman yang artinya; “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isterimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan mema’afkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka, dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (QS: Al-Baqarah [2]: 187).

Menurut sahabat Ibnu Abbas ra., ayat di atas turun berkaitan dengan para sahabat yang apabila mereka pada malam bulan Ramadhan setelah selesai shalat Isya mengharamkan diri mereka mencampuri istri dan memakan makanan.

Kemudian ada diantara mereka (termasuk sahabat Umar bin Khattab) makan dan mencampuri istri mereka setelah shalat Isya pada bulan Ramadhan, kemudian hal tersebut diadukan kepada Rasulullah ï·º lalu turunlah ayat tersebut (Lihat: Shahih Tafsir Jalalain hal. 44-45).

Wujud wasathiyah lainya adalah tidak berlebih-lebihan (ifrath) dan tidak meremehkan (tafrith) dalam bersadaqah. Tetapi pertengahan (Al-Bayniyah).

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengaih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, diantara keduanya secara wajar.”
 (QS: Al-Furqan [25]: 67).*

Anggota Dewan Murobbi Wilayah Hidayatullah NTB

Powered by Blogger.
close