Kerja Keras Nova Arianto, Pelatih Timnas U-17 yang Berbuah Manis
Oleh Rosadi Jamani
Siapa menyangka, Indonesia, negeri yang lebih sering patah hati dari berpesta di lapangan hijau, akhirnya bersorak bukan karena keberuntungan. Tapi, karena kerja keras tak mengenal kata cukup. Di Piala Asia U-17 2025, Arab Saudi, Garuda Muda berdiri tegak. Bukan karena belas kasihan lawan. Bukan karena gol bunuh diri. Tapi karena mereka bermain sebagai tim, bertarung sebagai bangsa, dan menang sebagai sejarah.
Lawan terakhir di fase grup adalah Afghanistan. Tim yang tak bisa diremehkan. Tapi bocil Garuda bermain seperti tak mengenal takut. Skor 2-0 mengunci kemenangan sempurna. Sebelumnya, mereka sudah menaklukkan Yaman 4-1. Lalu menghantam raksasa Asia, Korea Selatan, 1-0, tim yang di masa lalu pernah mempermalukan kita berkali-kali. Kini dibalik, kita yang mempermalukan mereka. Tiga laga. Tiga kemenangan. Sembilan poin. Nol kekalahan. Yang lebih gila, mereka sudah memastikan satu tiket ke Piala Dunia U-17 2025. Sejarah besar terukir indah.
Ya, ente tidak salah baca. Indonesia masuk Piala Dunia. Bukan wacana. Bukan rencana. Tapi kenyataan.
Di balik sejarah itu, berdirilah seorang pria yang dulu dikenal dengan julukan aneh, Suster Ngesot. Nova Arianto Sartono. Dulu seorang bek tengah. Keras. Tak kompromi. Tapi tak pernah terpilih jadi pusat perhatian. Bukan tipe bintang iklan. Nova bukan seperti yang lain. Ia berlatih lebih lama. Bicara lebih sedikit. Tapi berpikir lebih dalam.
Lahir di Semarang, 4 November 1979. Putra dari Sartono Anwar, pelatih legendaris yang membawa PSIS Semarang juara Divisi Utama 1987. Tapi Nova tak pernah hidup di bawah bayang-bayang sang ayah. Ia berkelana sendiri. Dari Persebaya ke Persib, lalu Sriwijaya. Ia mengangkat trofi. Tapi lebih banyak mengangkat beban, ekspektasi, tekanan, dan mimpi yang belum tuntas.
Setelah pensiun 2015, Nova memilih jalan yang sepi, melatih. Bukan langsung jadi pelatih utama. Tapi menjadi asisten. Ia tahu, di sepak bola, sabar bukan kelemahan, itu senjata. Ia jadi asisten di mana-mana. Termasuk di bawah komando Shin Tae-yong (STY), pelatih Korea yang keras, dingin, tapi jenius.
STY menyuruhnya jangan ambil lisensi dulu. “Belajar dari saya dulu,” katanya. Nova menurut. Bertahun-tahun ia menyerap ilmu. Tentang taktik. Tentang mental. Tentang membangun tim, bukan sekadar skuad.
Saat STY tak lagi di situ, Nova ditunjuk sebagai pelatih kepala Timnas U-17. Banyak yang ragu. Termasuk federasi sendiri. Tapi Nova tak membalas dengan debat. Ia membalas dengan kerja. Ia kumpulkan pemain. Ia seleksi ketat. Ia bangun atmosfer, bukan sekadar formasi. Hasilnya, 4-1 lawan Yaman, 1-0 lawan Korea Selatan, 2-0 lawan Afghanistan.
Apa yang ia tanamkan? Kesederhanaan. Bahwa baju timnas tak membuatmu sakti. Yang membuatmu kuat adalah disiplin. Bahwa lawanmu mungkin lebih terkenal, tapi kamu bisa lebih siap. Bahwa sepak bola bukan tentang nama besar, tapi tentang siapa yang mau lari lebih banyak, bertahan lebih lama, dan jatuh-bangun tanpa mengeluh.
Pemain-pemainnya pun sebagian besar anak lokal. Bukan hasil naturalisasi. Bukan titipan. Tapi hasil seleksi keras, latihan panjang, dan proses yang menyakitkan. Mereka bukan hanya bermain bola. Mereka sedang menulis sejarah dengan kaki mereka. Coach Nova berdiri di pinggir lapangan, dengan mata yang kadang berkaca, tapi wajah tetap dingin. Ia tahu, ini belum akhir.
Karena setelah ini, Piala Dunia menanti.
Panggung lebih besar. Sorot lebih panas. Tapi Nova dan anak-anak muda ini tak takut. Mereka sudah melalui yang lebih berat, meragukan diri sendiri. Kini mereka percaya, bukan karena omongan orang, tapi karena hasil kerja mereka sendiri.
Sejarah itu akhirnya terjadi. Kita bersaksi, yang mustahil itu hanya milik mereka yang malas.
#camanewak
Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar
Sumber akun tiktok Rosadi Jamani
Post a Comment