Rentan Masalah Karena Pengasuhan Salah


Oleh Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.

Kali ini kita masih harus melanjutkan pembahasan tentang gentle parenting yang sudah sedemikian merasuk di kalangan para pendidik, tak terkecuali guru-guru TK Islam dan orang tua.

Saya merasa perlu membaca sejumlah paparan ilmiah, termasuk jurnal akademik, mengapa gentle parenting yang sangat melarang penggunaan kata "jangan", tidak boleh dijadikan acuan mengasuh anak, baik di rumah maupun sekolah.

Istilah gentle parenting diperkenalkan oleh Sarah Ockwell-Smith, seorang penulis asal Inggris. Kata "gentle” menjadi semacam merek alias brand bagi Sarah sehingga ia sering meng-gunakannya untuk berbagai "pendekatannya".

Misal, ia menulis buku bertajuk The Gentle Sleep Book yang mengajarkan bagaimana cara menidurkan anak; sebuah buku yang lumayan tebal. Juga ada buku bertajuk The Gentle Eating Book, The Gentle Discipline Book, The Gentle Potty Training Book ser-ta The Gentle Parenting Book.

Sarah memperkenalkan istilah gentle parenting tahun 2015, meskipun sebagian tekniknya sudah mulai dikenal melalui sebagian pseudoscience sebelum itu. Sarah sendiri mulai gencar mempromosikan pendekatan yang ia anggap hebat setelah ia mengikuti pelatihan salah satu pseudoscience (ilmu semu) bernama hypnosis.

Hanya saja ia meramunya dalam narasi yang membuat banyak orang terpukau. Narasi yang disusun Sarah memang mengesankan, indah, dan baik. Hanya saja narasi itu tidak menolong dampak buruk dari pendekatan yang ia sebarkan.

Secara harfiah, gentle parenting bermakna pengasuhan yang lembut. Tetapi cara penamaan ini tidak mengejutkan.

Para praktisi hypnosis dan yang sejenis memang sering menggunakan klaim semacam itu. Padahal, kelembutan yang ada dalam agama kita, sudah ada jauh sebelumnya dan sekaligus jauh lebih kompleks dibandingkan gentle parenting yang bermasalah.

Rentan Secara Mental
Anak-anak yang diasuh dengan gentle parenting dilaporkan memiliki berbagai kerentanan emosi, mental, dan kepribadian. Meskipun tidak membahas seluruhnya, beberapa hal berikut ini semoga dapat memberi gambaran mengenai dampak buruk gentle parenting.

Pertama, hilangnya otoritas. Ibarat kapal, tidak jelas siapa kaptennya di rumah. Anak tidak terbiasa mengikuti aturan yang jelas dan tunduk kepada otoritas.

Akibatnya, ketika mulai sekolah, anak cenderung tidak menghargai otoritas guru. Ia mudah membantah dan mem-bangkang. Inilah yang sekarang banyak dikeluhkan oleh guru di berbagai tempat.

Kedua, anak tidak mengenal batasan karena selama ini dirinya yang menjadi batas, sementara orang lain, termasuk orang tua, harus berusaha memahami dan menyesuaikan. Perlu usaha ekstra untuk menjadikan anak mau tunduk jika tetap menggunakan gentle parenting.

Sangat berbeda dengan anak yang semenjak awal dididik untuk menghormati aturan, batasan, dan tatakrama, termasuk di dalamnya perintah dan larangan.

Cara Goodwin, Ph.D., seorang psikolog klinis dan penerjemah parenting alumni University of North Carolina, menunjukkan bahwa gentle parenting tidak bisa digunakan apabila anak sudah sampai pada perilaku buruk yang serius dan menantang.

Ia mengatakan, "Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa teknik gentle parenting tidak begitu efektif untuk perilaku yang lebih serius dan menantang, semisal agresi, atau untuk anak-anak yang lebih suka melawan atau lebih sulit diatur."

Dua hal awal ini, yakni ke-gagalan anak mengenal batasan sekaligus hilangnya penghormatan terhadap otoritas akan menimbulkan masalah ikutan yang tidak kalah ruwetnya.

Anak mudah tersinggung, salah satunya, sehingga menyebabkan ia mudah tersulut secara emosi terhadap guru di sekolah mau-pun orang lain, termasuk orang tua maupun saudara kandung.

Ketiga, meskipun individual dan personal sama-sama da-pat bermakna pribadi, tetapi perhatian yang terlalu menitik beratkan pada individual menjadikan anak tidak dapat mengembangkan kepribadian (personality) yang bagus dan kokoh.

Kepribadian dibangun melalui serangkaian pengalaman, penghayatan, kematangan diri dalam berinteraksi dengan orang lain dan kuatnya memegangi nilai.

Keempat, pola asuh gentle parenting cenderung menjadikan anak melebih-lebihkan semua perasaannya dan menjadikannya sebagai hal yang terpenting. Ia menuntut lingkungan untuk menghargai dan memenuhi apa yang menjadi keinginannya.

Mudah tersinggung merupakan salah satu akibat, selain anak cenderung merasa mudah terluka secara batin.

Hal-hal kecil yang seharusnya tidak menjadi masalah, sudah cukup untuk menjadikan mereka yang dibesarkan dengan gentle parenting bahkan sampai mengalami stress atau masalah-masalah kejiwaan lainnya. Apalagi ketika dengan mudah mendapatkan pembenaran yang tidak sedikit di antaranya justru berasal dari mereka yang seharusnya berpe-gang kuat pada agama.

Kelima, alih-alih menjadi pribadi yang kokoh karena tidak pernah mengenal larangan maupun perintah yang tegas, anak mau-pun remaja yang diasuh dengan gentle parenting justru lebih mengenaskan secara psikologis.

Anak-anak itu tidak sejahtera secara mental. Ia tidak memiliki miqyas (parameter) kuat yang dipegangi dalam menentukan sikap maupun menilai sesuatu. Bahkan terhadap dirinya sendiri, anak-anak itu senantiasa lapar validasi dari orang lain.

Saya berharap, meskipun hanya sebagian kecil, apa yang saya paparkan sudah cukup untuk meyakinkan kita semua mengenai dampak buruk gentle parenting.

Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi., Pakar Parenting Indonesia
Powered by Blogger.
close